Rough

1.1K 230 109
                                    

Rosé memandangi layar percakapannya dengan Jennie yang tak kunjung mendapatkan jawaban. Sudah dua hari berlalu dan Rosé secara rutin memberikan pesan kepada Jennie. Mengutarakan kata maaf, mengingatkannya untuk makan, mengeluh perkara rumahnya yang terasa sepi, dan mengakui kerinduannya akan wanita mungil itu.

Namun, tidak ada satu pun pesannya yang direspon oleh Jennie. Wanita bermata kucing itu benar-benar mengabaikannya.

Hari ini, Rosé ingin mencoba kembali peruntungannya dengan datang ke kediaman keluarga Kim. Siapa tahu pikiran Jennie sudah lebih tenang dan Rosé bisa mengajaknya bicara empat mata. Meluruskan masalah mereka dan mengatakan yang sejujurnya, lalu sebisa mungkin meyakinkan Jennie agar tidak menceraikannya.

Setelah melalui perjalanan yang panjang, Rosé kembali berdiri tegak di depan pintu rumah Jennie. Menekan bel rumah itu dengan perasaan tidak karuan, takut jika kehadirannya kembali tidak diterima. Hingga beberapa saat kemudian, ibu Jennie lah yang muncul di balik pintu itu, sedikit memberikan kelegaan di hati Rosé.

Rosé memberikan senyumnya ketika matanya beradu tatap dengan tatapan terkejut dari ibu Jennie yang mendapati wajah Rosé penuh lebam dan luka. Pasti ada begitu banyak pertanyaan di kepala ibu Jennie namun sebelum ibu Jennie sempat mempertanyakannya, Rosé lebih dulu memberikan tas tenteng yang berisi buah-buahan segar.

"Cuacanya sedikit lebih panas dari biasanya. Jadi, aku berpikir buah-buah ini bisa menyegarkan kalian."

"Terima kasih, nak. Ap—"

"—Eomma.." Rosé memotong ucapan ibu Jennie, masih dengan tersenyum. "Bagaimana kabar Jennie?" Lanjutnya. Bukan tanpa alasan, tapi Rosé memang menghindari pertanyaan yang berkaitan dengan luka-lukanya yang tidak bisa ditutupi ini. Enggan membuat ibu Jennie khawatir.

Ibu Jennie kemudian menghela napasnya panjang. Cukup menyadari jika Rosé tidak ingin membahas lukanya meski ia merasa sangat khawatir.

"Sudah cukup lebih baik dibanding hari pertama," ucap ibu Jennie.

Rosé mengangguk samar. Dalam hatinya ia merasa ikut tenang ketika kondisi Jennie bisa lebih baik dari kemarin. Sejenak, ia menundukkan kepalanya. Ragu untuk menanyakan sesuatu. Sebelum mengatakannya, Rosé mengelus tengkuknya pelan.

"Eomma, apa aku sudah bisa bertemu dengannya?" Rosé kembali menegakkan kepalanya dengan tatapan penuh harap. Setidaknya, ia hanya ingin melihat Jennie untuk mengobati rasa rindunya. Tidak apa jika Jennie masih marah, Rosé akan menerima hal itu. Tapi bisakah ia menatap istrinya sebentar saja?

"Maaf, nak. Eomma rasa belum waktunya. Jennie masih sangat terpukul," ucap ibu Jennie menatap sendu ke arah Rosé. Ia bahkan menyadari redupnya sinar harapan yang sempat ia dapatkan dari tatapan Rosé. Sejujurnya, ia merasa tidak tega. Tapi sesuatu yang dipaksakan, tidak akan berakhiran baik 'kan?

"Ah.. Begitu ya.." ucap Rosé kembali mengelus tengkuknya.

"Nak, lukamu—"

Ucapan ibu Jennie kembali terpotong ketika tiba-tiba saja pintu di belakangnya terbuka lebih lebar. Menampakkan Jennie yang langsung menatap datar pada Rosé yang terkejut. Sedangkan ibu Jennie yang mengerti dengan situasinya, memilih untuk meninggalkan mereka berdua. Namun sebelum benar-benar pergi, ibu Jennie menoleh ke arah Rosé dan mengangguk kecil padanya, dengan harapan masalah kedua insan ini dapat diselesaikan dengan keputusan yang paling bijak.

Setelah kepergian ibu Jennie, mereka berdua dilanda keheningan selama beberapa saat. Saling melempar tatapan tanpa berkedip, yang satu dengan tatapan rindunya dan yang satu lagi masih mempertahankan tatapan datarnya.

"Bogoshipeoyo.." Ucap Rosé pelan nyaris berbisik. Air matanya mulai timbul, berkumpul di pelupuk matanya namun tak kunjung terjun. Betapa ia merindukan Jennie dengan sangat. Rindu senyumnya, rindu tatapan cintanya, rindu sentuhannya, rindu pelukannya.. Tapi semua kehangatan itu tak ia dapatkan saat ini. Hanya ada wajah datar, datar, dan datar. Namun untuk saat ini, begini saja sudah cukup. Rosé merasa jauh lebih baik setelah melihat Jennie. "Apa kau sudah makan?" Tanyanya kemudian setelah berhasil mengendalikan diri.

P R A G M AWhere stories live. Discover now