Stage 2 : An Agreement

6 0 0
                                    

Care to explain to me what just happened, Mr. Daniel?”

Daniel mengangkat wajah, memandang Jeffrey dengan pipi yang membulat karena tengah dipenuhi dengan sate ayam yang dibeli Jeffrey tadi. Lantas, Daniel menelan makanan yang usai dikunyahnya sampai halus, kemudian mengerjap polos.

Jeffrey mendesah pelan. “Gua lagi serius, Dan. Sekali lagi gua tanya, what happened just now?”

W-well, seperti yang tadi elo dengar—“ Daniel berujar terbata-bata, dia sangat terusik oleh sorotan Jeffrey yang membuat Daniel terus melempar pandangannya ke jendela mobil yang ada disamping-Nya.

“ ... Yes, i did propose to Laina.” Sebelumnya, Daniel nggak mau mengatakan yang sesungguhnya. Cuma, Daniel pikir lagi. Dia tidak ingin diri masa depannya trauma karena telah memimpikan soal Jeffrey menyorotnya sepanjang malam di hari sebelumnya, terus Daniel yakin dia bakal menyumpahi dirinya sekarang.

Yah, Jeffrey sudah menduganya, jadi dia bingung entah harus menanggapi Daniel dengan pura-pura syok atau berterima kasih padanya karena Daniel telah memberikan Jeffrey jawaban jujurnya.

“Elo kenapa nggak diskusi dulu sih sama gua, Dan ....” sekali lagi, sebuah suara embusan keluar dari mulut Jeffrey.

“Daniel, gua tahu elo sedang terburu-buru untuk mencari seorang pasangan pura-pura karena si Sabrina yang anehnya pengen nikah sama elo,” ujar Jeffrey dengan nada yang rada sarkastik, “tapi solusinya bukan dengan melakukan kontrak pernikahan juga kali.”

Daniel mengulum bibirnya, merasa tidak pantas untuk mengeluarkan sekata apa pun. Jeffrey benar. Kini Daniel merasa bersalah terhadap Laina sebab perbuatannya yang sembrono itu. Laina pasti berpikir Daniel itu merupakan pria yang tidak memiliki rasa malu yang seenaknya melamar orang yang tidak ia kenal sebagai sebuah hobi.

Okay, let me think of something for this situation ....” Jeffrey memejam kedua matanya rapat, berusaha keras untuk mendapatkan sebuah solusi yang sebisa mungkin tidak akan merugikan kedua pihak yang terlibat dalam situasi ini, namun juga masuk akal.

“Oh!” Jeffrey menjentik jarinya. Berdasarkan reaksinya yang cukup menjanjikan, sepertinya Jeffrey telah mendapatkan sebuah ide.

“Jadi apa ide elo?” Daniel mencondongkan tubuhnya ke depan agar bisa mendengar Jeffrey secara lebih jelas. Otak Daniel siap bersedia untuk menerima semua pendapat yang akan mengalir dari bibir Jeffrey.

“Eh, nggak deng. Lupa gua, hehe.”

Hehe, kelihatannya Jeffrey nggak bakal makan bulan ini.

“Ah, baru ingat! Keknya kita lebih baik melakukan kontrak pacaran ketimbang kontrak pernikahan, yang berisiko lebih besar.” Jeffrey kontan berpaling ke Daniel.

“Kontrak pacaran ya ... sounds quite similar to a marriage contract, but i think it’s a better choice.”

“Tapi ....”

“Hah, ada tapinya?”

“Elo gak berhak untuk membuat syarat-syarat yang ada di dalam kontrak ini.” Daniel mendelik sembari memutarkan badannya secara dramatis, menghadap Jeffrey yang tampak sedikit ketakutan setelah memperoleh tatapan Daniel yang mengintimidasi tersebut.

Jeffrey meletakkan telunjuknya berhadapan dengan bibirnya, yang menghasilkan Daniel yang hendak berkomentar, terdiam sejenak. “Oke, sebelum elo mulai mengeluh, gua akan jelasin dulu mengapa gua bilang seperti itu.” Jeffrey menyeringai jahil, karena dia tahu mulut Daniel sedang gatal untuk mengutarakan segala keluhannya pada dirinya.

“Sebenarnya ya, siapa sih yang pertama menyebabkan hal ini timbul?” Jeffrey mencoba menyembunyikan seringainya yang mulai melebar.

Walau Daniel merasa sedikit nggak rela dirinya dipermalukan oleh sahabat, serta sekretarisnya sendiri, namun demi mendapatkan sebuah penyelesaian untuk masalah ini, dia akan berpura-pura tidak sadar bahwa Jeffrey sengaja sedang mengejeknya. “Gua.”

Quest: Finding LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang