12. Kesal

256 44 7
                                    

"Nah, nih. Makan yang banyak!"

Bapak memberikan ikannya kepada Renjun, membuat anak itu tersipu malu dan tak hentinya mengucapkan rasa terima kasih.

"Tapi, nanti bapak makan sama apa?"

"Sayurnya masih, udah kamu makan aja ikannya, biar tambah gede!"

"Makasih banyak, Pak..."

Mereka ber-empat, bapak, ibu, Jaemin, dan Renjun sarapan bersama, duduk di kursi ruang tamu. Menyantap makanan dengan nikmat, tak ada suara dentingan antara piring dan sendok, jika ada, bapak akan marah, tak suka makannya terganggu.

Ibu telah selesai makan, kini dia menunggu bapak selesai juga, lalu membawa piring itu ke dapur. Biarlah Jaemin dan Renjun mencuci piring mereka sendiri. Sudah besar dan harus mandiri. Sehabis bapak minum, dia berdiri dan berjalan keluar sambil menyogok giginya dengan kuku. Tinggallah Jaemin dan Renjun yang masih makan. Jaemin sudah mau habis, dan Renjun masih setengah. Anak itu sangat pelan makannya.

"Kakak cuci piring dulu, nanti kamu cuci sendiri."

"Yah! Tungguin!"

Renjun langsung buru-buru menghabiskan nasinya. Dia memakan ikan itu dengan tulangnya sekaligus, Jaemin menatap dengan heran. Apakah ikan sama halnya dengan kapas? Tidak ada beban sekali anak itu menelannya. Dimana tulang dan duri ikan dia rasa?

"Yuk!"

Jaemin mengambil piring Renjun untuk dia pegang, sedangkan Renjun mendorong kursi rodanya. Ternyata ibu masih ada di belakang dengan mencuci piring bekas semalam dan beberapa perabotan dapur yang kotor. Jaemin berdiri di samping ibu, mengambil spon dan mulai membersihkan piringnya dan piring Renjun, sementara anak satunya lagi duduk di kursi sambil membersihkan lubang hidungnya.

-

"Lagi gambar apa kamu?"

Rudi, anak Pak Pur menengok ke belakang, menatap ayahnya dengan tersenyum. Dia memperlihatkan buku tulisnya yang sedang ia coreti dengan gambaran gajah berwarna hitam akibat pulpen yang ia coretkan di sana. Pak Pur tertawa, bukan bermaksud mengejek gambaran Rudi, tapi gambar itu sedikit aneh.

"Kenapa badannya kurus?" tanyanya.

"Ya gimana lagi, bisanya juga gambar segini doang!"

Tangannya tak terampil menggambar hewan atau manusia dengan bentuk aslinya, itu lebih ke karikatur. Tapi masih bagus, cantik, dan elegan. Rudi melanjutkan gambarannya, dia tengah menggambar rumput di sekeliling gajah, sedangkan Pak Pur menyesap kopinya. Hawa panas membuat dia cepat haus dan gerah, kopi adalah salah satu penawarnya, padahal ini masih terbilang siang. Jika seperti ini, pasti nanti sore akan hujan sampai malam, bahkan kemarin sempat ada angin.

Hari Minggu, hari libur. Mereka tak berkerja terlebih dulu, mengistirahatkan badannya di dalam rumah. Rasa pegal di pinggang membuat tak lebih banyak dari mereka mempunyai penyakit encok, tak juga asam urat, saat menginjakkan kaki di lantai, rasanya nyut-nyutan sampai kepala, pusing, nyeri, seperti darah rendah. Ya, mungkin itu penyakit yang sedang tawuran.

"Nggak ngapel kamu ke rumah Ani?"

Rudi tersipu.

"Enggak lah! Ngapain, mendingan leha-leha di rumah," jawabnya tanpa mengedarkan pandang dari gambarannya.

Rudi dan Ani bisa terbilang dekat, sangat dekat. Pak Pur sampai bingung, anaknya telah dewasa, namun dia juga tak ingin Rudi berpacaran. Biarlah mengejar ilmu dulu, jangan terlena dengan cinta monyet anak SMP. Kira-kira, bolehlah pacaran saat sudah ada tujuan hidup, kuliah, punya pekerjaan, pacaran, nikah, punya anak, cucu, berakhir meninggal. Rantai hidup klasik mengusak pikirannya 20 tahun lalu. Pak Pur yang tak sekolah, hanya sekedar mengambil kayu bakar untuk dia jual di pasar, tiba-tiba bertemu perempuan cantik penjual nasi goreng pinggir jalan, dan jadilah anak bernama Rudi.

1. The Best Step Brother | JaemRen ✓Where stories live. Discover now