13. Surat terakhir darinya

354 45 35
                                    

*Part lebih panjang.

Getar-getir hati seluruh manusia di sini, menunduk harap akan segala keselamatan, menghirup udara yang tak pernah terhirup sebelumnya.

Dalam keadaan resah, gelisah, dan bingung Jaemin menggenggam tangan, berharap bahwa ini adalah hal sepantasnya ia dapat.

"Saya ke sini membawa surat penangkapan atas nama Jaemin Pradana dengan tuduhan kasus pembunuhan."

Kenapa kalimat itu selalu terdengar kapan pun Jaemin berada. Ia tak tahu, ia seketika lupa akan kejadian dulu. Tersulut emosi besar, seperti kerasukan setan jahat yang mencemari otaknya.

Jaemin tak menyangka, tak mengerti, tak paham, tak bisa menyangkal bahwa dia telah membunuh seseorang. Perbuatan keji yang sangat dibenci semua orang. Dia hanya bisa menerima kenyataan pahit ini.

Di sini, di ruangan besar dengan beberapa orang hadir dia duduk termenung. Suara deritan beberapa benda yang tak dia mengerti semakin membuat hatinya lesu, badannya seketika lemas. Memandang beberapa orang yang berpakaian rapi, terpelajar, bijaksana, berada dalam satu pandangannya. Di depannya orang-orang memakai baju panjang yang aneh, raut muka datar, dan berbicara dengan nada yang sangat berwawasan penuh.

Di sebelah sana, bapak duduk dengan beberapa orang lainnya, sesosok perempuan duduk tegap dengan hidung memerah dan didampingi seorang laki-laki berbaju rapi membawa koper kecil tergeletak di bawahnya.

Orang itu berbicara panjang lebar, mulut menganga dari telinga ke telinga. Bapak hanya sendiri, gigi menggertak dengan tangan mengepal, sedangkan Jaemin hanya bisa mendengarkan tanpa mengerti apa yang mereka bincangkan. Cukup rumit pertikaian ini, perbedaan melejit miring antara keduanya, berbagai aspek obrolan mereka lontarkan. Jaemin sudah kehabisan kata-kata, dia malas mengulangi untuk yang ketiga kalinya. Dia pasrah, dia muak dengan ini semua yang telah lama tak berujung pemastian.

Telinganya panas, mendengarkan fakta-fakta yang dibeberkan laki-laki berbaju rapi itu, saksi, orang-orang pendukung, semuanya secara sangat masuk akal.

Jaemin menenggelamkan wajahnya saat orang berbaju panjang itu mengatakan kalimat rumit pasal demi pasal, kata pertimbangan, panjang, mengungkit lagi bukti terbukti yang sudah dibicarakan sebelumnya. Dia hanya menaik turunkan kepala, mengangguk-angguk walaupun tak sama sekali dia pahami. Tiba-tiba salah satu orang di depan menanyainya, membuat Jaemin terkejut bukan main.

"Apakah ada yang ingin Anda sampaikan, Jaemin?"

Jaemin membuka menutup mulut. Dia menoleh ke mana-mana, menatap bapak yang hanya menatapnya dengan pandangan kosong, dia melotot lagi ke arah orang itu, dia tak tahu harus menjawab apa lagi.

"Maaf!" Hanya satu kata, maaf yang hanya bisa Jaemin lontarkan kala itu.

Sebenarnya Jaemin ingin sekali mengatakan sekali lagi kepada penyidik lalu bahwa Jacksen telah melakukan hal konyol kepada adiknya, tapi jika memang yang bersalah Jacksen seratus persen, bagaimana lelaki itu mendapatkan hukuman setimpal? Sayangnya dia sudah meninggal di tangan Jaemin, dan kini hanyalah Jaemin yang duduk menanggung ini semua.

"Bagaimana, Saudara?"

Pertanyaan kedua diulangi, Jaemin tetap terdiam, dia pusing.

"Maaf, Tuan, saya rasa cukup, cepat ambil keputusan untuk saya, terima kasih!"

"Jadi, apakah Saudara akan menerima keputusan apapun yang akan kita sampaikan?"

Jaemin mengangguk.

"Benar, tak ada elakan dari ini semua, saya rasa sudah cukup, cepat dan jangan bebankan pikiran saya."

Yang Mulia menghela nafas, dia membuka lembaran di depannya, menatap para hadirin sekalian secara bergantian. Jaemin menengok ke sana ke mari, menatap tembok luas itu, di atasnya sebuah gambar besar burung Garuda beserta lima kalimat Pancasila. Jaemin jadi mengingat masa sekolahnya. Dia beralih menatap ke depan lagi, mendapati orang-orang itu sedang berbisik senyap dengan raut muka serius mungkin. Tiba-tiba suasana menjadi hening.

1. The Best Step Brother | JaemRen ✓Where stories live. Discover now