14. Surat darinya untuk dia [END]

570 55 33
                                    

"Dibuka dulu ya... Pelan-pelan!"

Renjun mengangguk sembari terisak. Sudah hampir satu minggu dia tak dapat menghentikan laju tangisnya. Saban pagi, siang, malam mulutnya terus bergumam menyebutkan nama kakaknya, Jaemin. Tangisnya semakin pecah saat dirinya berkunjung ke ruang jenazah, meraba wajah Jaemin sambil memukulnya kasar, itu yang selalu Renjun lakukan.

Dokter spesialis mata yang menangani Renjun membuka perban itu perlahan, dia memutarnya dari depan ke belakang sampai lapisan itu habis. Mata Renjun tertutup, sedikit basah. Dokter itu mengusap mata Renjun perlahan, melihatnya dengan kepala yang mengangguk-angguk.

"Oke, sekarang matanya dibuka ya, pelan-pelan aja..."

Renjun mengerjap kecil, dia menuruti perintah dokternya. Dengan sangat hati-hati Renjun membuka matanya.

"Pelan!"

"Iya-iya!"

Dokternya geleng-geleng kepala, pasti setiap menit anak itu membentaknya, maklumi saja.

Saat telah terbuka semua, Renjun masih tetap melihat kegelapan. Dia menengok kanan kiri secara bergantian.

"Kalau masih belum kelihatan, dibuka tutup coba."

Renjun mengangguk, dia membuka tutup matanya secara cepat, perlahan-lahan pandangannya menjadi buram, senyumannya mengembang. Renjun merasakan hal yang sangat berbeda. Dia terus mengerjapkan matanya dengan cepat, lalu bayang-bayang tubuh dokter itu dapat dia rasakan.

Dokter tadi melambaikan tangan di depan Renjun, dengan sigapnya tangan Renjun menangkap tangan si dokter. Dia tersenyum memperlihatkan deretan giginya.

"Ini apa?" tanya Renjun saat tangan dokter itu terasa menakutkan. Tangan itu, mirip sekali dengan tangannya. Dokter tadi tertawa.

"Ini tangan. Kamu tau kan apa itu tangan?"

Renjun mengangguk. "Iya! Tangan yang selalu membantu aku ke mana-mana!"

Mulut Renjun tak berhentinya terbuka, dia mengedarkan pandang ke sana ke mari. Benda-benda aneh yang belum pernah dia lihat sebelumnya. Saat Renjun menutup mata dan membukanya, ada perbedaan mendasar dari dirinya.

Kini, Renjun tak lagi melihat dengan hati, dia sudah melihat dengan mata.

Renjun bertepuk tangan, dia turun dari tempat tidur dan melompat-lompat, lalu dia menatap wajah dokter itu, dahinya mengernyit. Dia agak bertanya-tanya, itu manusia atau zombie? Tangannya bergerak ke atas, jari itu dia tempelkan di hidung dokternya.

"Ini hidung bukan?"

Dokter itu mengangguk. Lalu Renjun menunjuk mata. "Ini mata?" Dokter mengangguk. Kontan, Renjun memeluk dokter itu sangat erat.

"Kak Jaemin, aku udah bisa lihat! Kak Jaemin kok nggak ganteng?"

Dokter itu berdeham kencang, dia berusaha melepaskan pelukan Renjun dari tubuhnya. Renjun sedikit kecewa, menatap nanar dokternya yang tengah membungkuk melihat dirinya.

"Saya bukan Kak Jaemin, saya dokter!"

"Dokter?"

"Iya!"

Pantesan nggak ganteng, tua.

Seketika tubuh Renjun lemas, saking senangnya, dia sampai lupa jika kakaknya itu telah tiada. Akhirnya Renjun menangis lagi dengan kencang. Dia berlari ke depan, langkahnya berhenti saat matanya menangkap dua orang duduk di kursi depan pintu.

Ibu berdiri, ia tersenyum saat melihat Renjun menatapnya.

"Renjun! Ini ibuk!"

Renjun menghapus ingusnya, dia menatap bapak dan ibu secara bergantian. Hatinya seakan menjerit, dua orang yang selama ini ada di sampingnya, merawatnya penuh kasih sayang sudah bisa dia tatap.

1. The Best Step Brother | JaemRen ✓Where stories live. Discover now