Act 4

1 0 0
                                    

Malam itu Ann memutuskan untuk pulang ke rumahnya karena selama ini ia tinggal di Apartemen yang dekat dengan kampusnya. Ia sangat lelah pada hari itu, terlebih ia habis mengerjakan tugas kelompok yang sangat sulit sampai ia harus beberapa jam berada di kampus walaupun kelas sudah berakhir di pagi tadi. Selain itu, ia juga habis bertengkar dengan Nick, walaupun melalui telepon genggamnya. Sebenarnya hanya masalah kecil saja, seperti biasanya Nick tak memberikan kabar. Tapi Nick sangat marah kepada Ann sampai-sampai ia berkata kasar dan mengancam Ann bahwa ia akan memukulinya lagi.

"Kalo lu kayak gini lagi, ga akan segan-segan gw bikin lu sengsara lagi. Gw samperin apartemen lu sekarang juga."

.

.

"Woy jalang, gw udah di depan kamar lu. Keluar sekarang."

Selang beberapa menit, Nick ternyata benar-benar ingin menghampiri Ann saat itu juga. Ann tak membalas lagi pesan dari Nick, dibaca pun tak ada niatan sama sekali, ia hanya membacanya dari notifikasi telepon genggamnya. Panggilan dari Nick pun tak ia angkat. Mungkin Ann saat itu sudah sangat lelah dengan semuanya dan sepanjang perjalanan ke rumahnya ia hanya tertidur saja. Sesampainya ia di rumah ia segera langsung masuk ke rumahnya dan menaruh barangnya yang ia bawa beberapa dari apartemennya.

"Ma, pa, Ann pulang"

Belum ada hitungan detik, tiba-tiba suara teriakan dari kamar orangtuanya terdengar begitu kencang. Nampaknya Orangtua Ann tengah bertengkar hebat. Memang, Orangtua Ann sering sekali bertengkar, tapi kali ini berbeda. Tanpa pikir panjang Ann segera masuk ke kamar Orangtuanya.

"Kamu tau Ann!? Papa kamu ini selingkuh Ann!"

Ibu Ann begitu marah dengan Ayah Ann, sembari ia berteriak ia juga tak segan menarik kerahnya dan memukulinya terus menerus. Ibu Ann sangat histeris, ia merasa hatinya sangat teriris mendengar kabar suaminya sendiri tengah berselingkuh dengan wanita lain. Joe, Ayah Ann, ia hanya bisa terdiam, ia tak bisa menjawab pernyataan yang diutarakan oleh istrinya sendiri. Ia begitu pasrah menerima makian dari istrinya itu, jauh dalam lubuk hati Joe, ia merasa sangat menyesal. Ia ingin mempertahankan keluarga ini, ia begitu sayang dengan Natasha, istrinya sendiri, dan juga anak-anaknya. Ia hanya mencari pelampiasan karena ia tidak tahan dengan situasi finansial yang membuatnya sangat tertekan, terlebih Natasha sering sekali menyambutnya dengan marahan-marahan tidak jelas dan juga ia selalu mempermasalahkan finansial terus menerus. Padahal, yang Joe butuhkan saat itu adalah dukungan dan kasih sayang dari istrinya yang menyambutnya ketika ia baru pulang dari kantor. Tapi ia sudah jarang mendapatkan rasa itu.

"Maafin papa...."

Joe meneteskan air matanya, tangisannya mulai deras. Namun saat itu, kepala Joe terasa sangat berat hingga membuatnya sangat lemas dan hampir terjatuh. Natasha saat itu tak ada rasa peduli sama sekali dengan Joe, ia membiarkan Joe terjatuh begitu saja dan meninggalkan ruangan. Ann tak bisa berkata apa-apa melihat orangtuanya bertengkar seperti ini, ia kemudian membopong Ayahnya ke ranjang dan segera membaringkannya. Ann tahu kalau Ayahnya memiliki riwayat penyakit yang membuatnya tak bisa jika sedikit saja merasa begitu tertekan dan stress.

"Bunuh saja papa kamu ini Ann...bunuh saja..!"

Dengan nada yang begitu lemas, Joe mengatakan hal tersebut tepat di depan Ann sembari memukul kepalanya sendiri dan menjambak rambutnya dengan kencang. Ann berusaha untuk menarik tangan Ayahnya itu dan menahannya, Ann tak bisa merasakan emosi apa-apa saat itu, bahkan ia tak bisa menangis. Karena saat itu Ann merasa begitu tertekan juga, muncullah pikiran sekilas bahwa ia ingin sekali membunuh Ayahnya itu, seperti ada yang membisikkannya dan menyuruhnya untuk melakukannya. Tangan Ann mulai gemetar, dalam dirinya ia menahan rasa itu walaupun rasa itu begitu kuat sampai sekujur tubuhnya terasa begitu sakit.

"Pa...jangan bilang begitu pa..papa istirahat ya. Ann temani papa disini"

Ayahnya tak menjawab apa-apa, ternyata ia sudah tertidur. Wajar, saat itu ia merasa begitu lemas dan membuatnya mudah untuk tertidur begitu saja. Ann pun mulai melepaskan genggaman tangannya dan hendak menuju kamarnya.

Saat itu Ann merasa benar-benar hancur, tapi ia tak bisa mengungkapkan rasa emosinya tersebut, pada saat yang bersamaan ia juga merasa kosong. Ia tak bisa menangis, hanyalah tatapan kosong yang menggambarkan ekspresi di wajahnya. Ia tak sanggup menghadapi ini lagi, ia ingin menyudahi saja hidupnya ini. Ia juga tak bisa cerita ke teman dekatnya, atau siapapun itu. Ia hendak mengambil siletnya yang ada di saku celananya, kemudian ia menggoreskan ke pergelangan tangannya. Darah yang mengalir dari tangannya sedikit demi sedikit menetes, namun ia tak melanjuti lagi aksi tersebut. Ann mengambil kotak obatnya dan meminum beberapa obat, mungkin hampir semuanya ia habiskan. Obat itu diberikan dari psikiater di kampusnya setelah ia melakukan beberapa konsultasi dari psikolog. Ia tak tahu sebenarnya kenapa ia pergi untuk konsultasi, ia hanya berharap masalah dalam dirinya segera selesai. Namun yang ada rasanya masalah selalu datang menghampirinya dan terus menghampirinya.

"Kenapa rasa sakit yang selalu kudapatkan? Entahlah."

Ann mulai berbicara sendiri dalam kepalanya, sepertinya ia mulai merasa bahwa dirinya gila.

"Entahlah..mungkin dunia ini yang sudah gila atau aku yang sudah gila dari awal."

Ann mulai menutup matanya. Seketika semuanya terlihat memudar dan mulai gelap, Ann mulai tak sadarkan diri saat itu atau mungkin lebih tepatnya ia tertidur begitu lelap.

***

I'll Always be by your sideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang