03. Trainee Penyelundup

446 95 3
                                    

Selama ini, Mark Lee hidup sesuai garis takdirnya. Tentang pintanya dalam hidup, ia hanya sesekali berusaha untuk menggapainya. Termasuk mengenai mimpinya, dia tentu saja tidak bisa terdiam berpangku tangan tanpa melakukan apapun. Setidaknya berjuang, bekerja keraslah baru setelah itu dia bisa berpasrah.

Sayangnya selama ini, Mark belum pernah digelayuti oleh rasa bangganya dalam waktu yang tidak sebentar.

Bangga? Apa itu?

Seakan asing, Mark amat teramat jarang merasakan perasaan itu. Orang bilang, bangga adalah sebuah perasaan yang melukiskan seberapa puas dirimu akan usahamu dan semua yang kamu capai selama ini. Bukannya tidak pernah, hanya saja Mark Lee tak sesering itu untuk mendapatkan perasaan bangga. Berbanding terbalik dengan Kang Junhee atau Lee Haechan yang memuji kerja kerasnya sendiri. Tersenyum lebar dan nyaris menyerempet sombong saking puasnya mereka, Mark cenderung mengomentari kekurangannya sendiri. Berusaha untuk memperbaikinya di kesempatan-kesempatan berikutnya. Mark Lee bahkan seolah tak punya waktu untuk mengagumi dirinya sendiri.

Satu-satunya alasan yang terkubur di baliknya, sekedar rasa ketidakpuasan Mark Lee. Semua pujian pelatihnya, decakan kagum itu, gema tepuk tangan itu, seolah sesuatu yang menuntutnya untuk berlatih beribu-ribu kali lipatnya. Benang kesimpulannya adalah, Mark Lee terlalu sulit untuk puas karena kinerjanya sendiri.

Menuju gedung asramanya, Mark berhenti melangkah. Ketika sebuah suara merangsek ke dalam rungunya, ketika itu pula ia tahu bahwa ada beberapa orang di balik gang sempit itu. 10 kali lipat lebih waspada, Mark menyembulkan kepalanya dari balik dinding bangunan. Keningnya mengerut. Tak cukup baik mengandalkan penglihatannya untuk menelisik sesuatu di bawah kegelapan sana.

"Memangnya kamu nggak bisa kasih lebih banyak dari ini? Atau nggak dilebihi gramnya dalam satu bungkus."

Setengah samar, Mark bisa menyaksikan beberapa pemuda nampak berkerumun. Mengulas tentang sesuatu yang masih cukup ambigu baginya. Ketimbang tubuhnya, kawanan itu nampak lebih besar-besar. Gagah dan punya sisi sangar yang khas ditonjolkan orang-orang jahat di luar sana.

Tapi sebentar. Ketika Mark menyipitkan matanya, berusaha meneliti lebih jauh, punggung yang membelakangi dirinya rasanya familier. Bagaimana bentuk tubuhnya, Mark seakan tak asing.

"Sialan. Kalau aku tambah gramnya atau tambah stoknya, bisa ketahuan. Kalian mau tanggung jawab?" Menggertak, bariton itu mengudara. Tangannya menyodorkan beberapa bungkus untuk kawanan di depannya. Sebuah plastik kecil yang diisi bubuk?

Membeku, Mark Lee berhasil mengerti kondisinya. Disergap rasa bimbang dan takutnya, kakinya diputarbalikkan. Ketimbang melewati gang itu, Mark lebih memilih kembali ke dalam gedung agensinya. Menemui siapapun di sana untuk menghilangkan serangan cemas dan bimbangnya. Nyaris berhasil mendorongnya masuk ke dalam jurang ketakutan yang lebih dalam lagi.

Tak perlu memastikan apapun lagi, Mark 100% yakin. Kemasan itu, bungkusan yang diisi oleh bubuk putih itu, Mark tahu itu sebuah benda haram yang seharusnya tidak dikonsumsi manusia; narkoba. Salah satu poin yang amat sangat disayangkan adalah kenyataan bahwa takarannya yang tak lagi bisa dibilang sedikit.

Mark masih belum bisa memutuskan mana yang lebih mengerikan antara banyaknya narkoba yang diselundupkan itu atau mengenai si penyelundup barang haram. Hampir tak percaya tapi Mark didesak untuk selalu mempercayai fakta yang tengah terjadi. Termasuk fakta tentang Kang Junhee si penyelundup narkoba.

Satu-satunya yang tersisa, satu-satunya yang harus mengorbankan banyak hal, adalah mimpi itu. Menyebar di beberapa titik, Jisung menggaet Renjun dan Chenle duduk tenang di sebuah bangku. Bersama terpaan angin yang menghipnotis, alunan suara menyapa rungu. Mengundang decak kagum para pendengar. Permainan nada itu, penghayatannya, semuanya yang dipamerkan Huang Renjun tak pernah gagal membuat Jisung kagum.

Lose Me If You Can ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang