21. Status Pertemanan

161 39 1
                                    

Realita.

Sebuah keadaan dimana seseorang ditakdirkan menjalani kehidupan dengan cara tertentu dan beberapa taburan bumbu pemanis pembangkit arti hidup sebenarnya. Terkadang realita menimpamu dengan rasa pahitnya yang membawa keberatan sehingga amat sulit untuk diterima. Tapi terkadang, realita mengantarkanmu pada sebuah titik dimana kamu akan dipertemukan pada ambang kebahagiaan.

Hidup tak bisa terus-menerus diisi oleh realita manis yang baik dan mengukir banyak kenangan indah alih-alih menorehkan pedih yang menyiksa. Ini hidup yang penuh akan realita hitam dan putih. Bukan dongeng yang banyak menyebut kebahagiaan. Hidup tak bisa diterka semau hati. Ketika kamu mendapat skenario yang penuh dengan taburan kelopak bunga dan wanginya yang menenangkan, itu belum berarti hidupmu akan berakhir pada sebuah ending yang sama pula membahagiakannya.

Belakangan ini, realita yang menimpa Park Jisung lebih dari baik. Seakan Dewi Fortuna terus-menerus berada di pihaknya. Menjatuhkan keuntungan sederas air hujan. Jisung bahagia tapi beberapa persen dari dirinya mengkhawatirkan sesuatu.

Hidup selalu dibonusi oleh sesuatu yang disebut konsekuensi. Ketika dia ingin menggenggam banyak uang, maka konsekuensinya adalah banting tulang, bekerja dengan amat keras untuk mewujudukan kemauannya. Jisung pikir, pada kasusnya tak jauh berbeda. Kesempatannya yang semakin besar ini, bukan berarti ia dapat dengan cuma-cuma. Barangkali ada sebuah konsekuensi yang nantinya menyembul tanpa sepengetahuannya.

Rasa takutnya tak pernah hilang. Tentang apa yang akan terjadi di masa depannya atau tentang keenam kawannya. Waktu memaksanya untuk mengesampingkan asumsinya sendiri. Waktu selalu memaksanya untuk terus mengasah kemampuannya. Hidupnya yang sekarang bukanlah sebuah arena bermain yang jika kalah, dia hanya akan mendapat cubitan kecil di pipinya atau maksimal robot mainannya dirampas paksa. Ini lebih dari itu. Hidup adalah sebuah arena penuh persaingan yang tak pernah lepas akan permainan.

Jisung menyeruak masuk setelah bunyi ceklik pintu mengudara untuk satu detik lamanya. Obsidiannya berhasil menemukan sosok yang tengah dicari-cari. Bukan sebuah kesulitan yang besar untuk menemukan si pemimpin. Sampai kapanpun, Jisung akan selalu tahu bahwa Mark Lee tak pernah bisa lepas dari ruangan ini. Tempat dimana banyak cermin mengelilinginya. Menjadi saksi akan seberapa kerasnya dia melatih dirinya sendiri. Tentang bagaimana keringat itu mengucur, menyerang tanpa ampun atau tentang keputusasaan yang pernah menyergapnya.

"Hyung." Panggilan itu lepas. Menari, beradu bersama dentuman sepatu si Lee bersama dengan lantai. Tak bisa melepas atensinya dari dirinya sendiri, Mark sekedar mengudarakan dehemannya sebagai respon kecil. "Hyung masih lama latihannya? Jangan kelamaan ya, Hyung juga butuh istirahat." Jisung menegur. Memperingatkan yang lebih tua akan waktu ketika dirinya menyelam ke dalam latihannya sendiri.

Pelan, Mark mengangguk. "Iya, sebentar lagi. Ada apa, Jisung?" Gerakannya terhenti. Berdecak kecil berikut kepalanya yang digelengkan kesal. Fokusnya pecah akan 2 objek yang berbeda. Mengakibatkan kecacatan pada gerakannya sendiri. Tapi pada dasarnya, Mark Lee tak pernah bisa seenaknya menyalahkan orang lain akan kegagalannya. Maka, dia kembali mengulang pada titik kesalahannya. Tanpa menyadari bahwa Jisung nampak sedikit mengerut di tempatnya.

"Aku mau belajar bahasa Inggris sama Hyung." Setengah lirih, nyaris tenggelam akan gema sepatu milik si Kanada, Jisung mengudarakan pintanya.

"Kamu bisa tunggu kan, Jisung? Sebentar lagi aku selesai. Nanti aku langsung ajarin kamu." Mark menyahut. Entah sekedar janji manis atau benar-benar sebuah niat yang akan ia lakukan nantinya, tapi Jisung tak merasakan setitik kelegaan sama sekali.

Lantas, yang lebih muda mengangguk kecil. "Oke. Aku tunggu Hyung di asrama ya. Maaf aku ganggu." Di sekon setelahnya-brak-pintu ditutup. Menyisakan Mark yang kembali larut dalam rangkaian geraknya.

Lose Me If You Can ✔️Onde histórias criam vida. Descubra agora