31. Tewasnya Kang Junhee

173 34 2
                                    

Memerankan sosok pemimpin itu bukan main sulitnya. Di sekolah, tak ada pelajaran yang mengulas seputar tata cara menjadi pemimpin yang baik dan benar. Sebaliknya, kamu malah ditunjuk untuk memimpin kelas tanpa tahu dasar yang harus dipunyai sebagai seorang ketua. Katanya, cukup kamu punya jiwa kepemimpinan, itu lebih dari cukup untuk menyandang tahta sebagai pemimpin. Tapi kenyataannya, seorang pemimpin juga sama-sama manusia. Dengan atau tanpa jiwa kepemimpinannya, mereka tak bisa terus-menerus menjelma menjadi sosok yang tak pernah mengukir kesalahan.

Ini berat untuk Mark Lee—bahkan tak terhitung seberapa banyak ia menegaskan ini. Sempat terbersit di benaknya, bagaimana kalau ia melepas jabatannya? Tapi tidak. Ini bukan waktu yang tepat. Kelewat bodoh apabila si Kanada memang benar-benar melakukannya. Bukan malah memperbaiki keadaan, Mark justru mengacaukan. Memberi hantaman yang tak kalah besarnya sampai semua itu hancur berkeping sebagai hasil karyanya.

Menjadi seorang pemimpin, yang paling utama adalah menuntun anggotanya ke jalan yang benar—itu sebuah keharusan—disusul akan hal-hal lainnya termasuk meyakinkan anggotanya. Dalam satu hal itu, Mark meletakan kelemahannya. Beberapa kali, dirinya mengaku kalah ketika dihadapkan akan si pemuda keras kepala—Zhong Chenle bersama sejuta ketegasannya yang teramat sulit diluluh-lantakan.

Tak ada orang yang menyukai rumah sakit. Alasan paling utamanya ada dua; bebauannya yang mengganggu indera penciuman atau makanannya yang bahkan tak bisa disebut begitu. Termasuk Zhong Chenle. Mulutnya tak pernah berhenti mengudarakan kalimat penolakannya. Aku nggak mau, baunya nggak enak, aku nggak suka.

Tapi pada akhirnya, Mark mendapat hasil jerih payahnya sendiri. Setelah 30 menit habis untuk mengubah pendirian si China kelahiran 2001 itu, Mark pun menuai hasilnya meski mulut itu nyaris berbuih. Setidaknya, Chenle lumayan ampuh ketika Mark menyinggung perihal Jisung. Pemuda Toronto itu menjanjikan untuk sebuah besukan kecil sebelum angkat kaki dari sana. Dan dengan begitu, Chenle mengangguk—menyetujuinya.

Ruangannya kemas dan nyaman dipandang. Bangsal di samping dinding tak pernah luput untuk selalu dirapikan. Meja sang dokter bersama beberapa alat medisnya dan sebuah papan nama yang menyatakan bahwa di tempat itulah seorang dokter spesialis THT diperkenalkan pada para pasiennya lewat ukiran nama di atas papannya. Di sisi kirinya ada sebuah jaket coklat yang digantungkan di tempatnya.

"Buka mulutnya lebih lebar lagi." Perintah itu dinyatakan dalam sebuah nada yang penuh kelembutan. Meminta sang pasien untuk lebih membuka mulutnya lebar-lebar.

Chenle menurut. Lantas ketika rongganya dibuka lebih lebar lagi, sang dokter mengangguk. Senter kecil nyaman digenggam di tangan kanannya. Di sudut lain, Mark sebagai wali menanti-nanti. Atensinya tak pernah berhasil dijauhkan dari si pemuda China yang masih menjalani masa kontrolnya. Rasa kepenasarannya telah tercampur rata bersama harap-harap cemasnya.

Bebunyian yang asalnya dari gilasan roda mengudara. Sang dokter menjauh, mengemasi peralatannya. Selesai dengan pemeriksaannya, Mark bangkit dari duduknya. Kaki jenjang itu melangkah. Tak bisa mengubur lebih lama lagi akan kepenasarannya yang nyaris mengulitinya habis-habisan.

"Gimana, dokter? Dia nggak apa-apa kan? Nggak ada hal yang serius?" Lugas, Mark membombardir sang dokter lewat pertanyaannya.

Pria kepala empat itu menanggapi. Kedua tangannya saling bertaut di atas meja. Maniknya masih enggan dienyahkan dari sang pasien yang nampak tak tertarik sama sekali. "Semuanya bakal baik-baik aja selagi dia nggak membahayakan tenggorokannya sendiri. Ada beberapa makanan yang jadi pantangan. Pita suaranya lecet sedikit. Ada baiknya dia stop nyanyi buat beberapa saat sampai keadaannya membaik. Kalau masih dipaksa buat nyanyi, lama-lama bisa jadi luka dan makin parah." Mengakhiri kalimatnya, sang dokter menorehkan tinta penanya di atas selembar kertas.

Lose Me If You Can ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang