37. Hilang Arah

196 26 0
                                    

Lee Haechan dan kepanikannya tak dapat terelakkan. Sebelum sang baskara sepenuhnya menyembul, memamerkan sinar ultravioletnya, Haechan lebih dulu menggeledah seisi kamarnya. Jarum jam masih menapaki angka lima. Lumayan mengerikan ketika si pemalas tahu-tahu bangun di  waktu subuh.

Gemuruh laci yang dibuka satu per satu agaknya cukup ampuh menjadi alarm sosok lainnya. Di seberang, Mark Lee mulai menggeliat. Punggungnya bangkit—sekarang posisinya setengah duduk—bersama dengan matanya yang masih belum bisa dibuka lebar sepenuhnya. Mulut itu menguap untuk 3 detik lamanya. Tangan kirinya menggapai-gapai nakas di sisi kanan tempat tidurnya. Berhasil, sebuah kacamata kini ada dalam genggamannya. Ketika dikenakan, pandangannya 100% lebih baik. Dari jarak 3 meter, Mark menemukan si biang kerok. Lee Haechan yang entah tengah melakukan apa. Barangkali sekedar mengusir rasa bosannya atau berusaha untuk membangkitkan kantuknya.

"Haechan, kamu kerasukan? Ngapain jam segini udah grasak-grusuk kayak gitu?"

Pertanyaan itu dilontarkan setengah serius dan setengah bercanda. Siapa tahu dugaannya benar? Lee Haechan bagai minyak yang tak bisa menyatu bersama air. Sosoknya tidak bisa dipaksa mudah untuk bangun di pagi buta.

Detik-detik berikutnya, Haechan tak memberi satu respon sekecil apapun. Seluruh isi lacinya berhasil ia geledah. Samar, Mark mendengar gumaman kecilnya; dimana ya? Nadanya dibubuhi akan kepanikan dan satu kekhawatiran yang ikut serta. Maka, dari situ Mark dibuat semakin ketar-ketir. Ini gawat, jangan-jangan terkaannya tepat pada apa yang tengah terjadi.

"Haechan! Kamu cari apa?!" Menggertak, Mark diburu akan kepanikan yang turut menyergap.

Haechan berdecak sebal. Tubuhnya pindah haluan. Tangannya tak lagi berurusan bersama laci-lacinya. Kini dilabuhkan pada tempat tidurnya sendiri. Mengusir bantalnya, membiarkan benda itu teronggok di atas lantai. Menyingkap selimut atau sampai menunduk, mengecek kolong tempat tidurnya.

"Cari ponsel!" Balas membentak, Haechan masih belum menghentikan pencariannya.

Satu kerutan samar menghias di kening yang lebih tua. Mark menelengkan kepalanya. Lantas, tangannya menyusul untuk membetulkan letak kacamatanya. Mulanya dia menduga-duga, mungkin netranya tak cukup baik memandang semua benda di dalam ruang tidur ini. Tapi setelah kembali dipastikan, benda yang tengah dicari-cari pemiliknya memang tercampakkan di atas nakas milik Haechan.

"Eh? Bukannya itu ponselmu?" Telunjuknya teracung. Menunjuk sebuah benda pipih yang terbaring manis di tempatnya.

"Bukan! Bukan ponselku yang hilang." Haechan setengah putus asa. Debum kecil mengudara di sekon berikutnya. Tubuh gembul menggemaskan itu jatuh terduduk menimpa lantai. "Dimana sih? Siapa yang ambil? Nggak ada yang tahu tentang ini, tapi kenapa bisa hilang?" Gumaman itu kembali diluncurkan berikut rasa frustasi yang mulai jatuh menghantam.

Beringsut, Mark bangkit dari tempatnya. Kaki itu diayunkan 7 langkah sebelum berakhir tepat di sisi kanan si pemuda Juni. "Kamu sembunyiin sesuatu, iya kan? Ponsel siapa yang kamu cari?" Mark menduga kelewat yakin. Timing yang amat buruk untuk menyulut emosinya.

"Dua hari lalu aku nggak sengaja nemu ponselnya Jisung. Ada di semak-semak sebelum masuk ke agensi. Aku bawa ke tukang reparasi dan baru tadi pagi selesai, tapi sekarang hilang." Masih belum menyerah sepenuhnya, Haechan merangkak. Mencari-cari benda pipih kepunyaan Jisung. Barangkali jatuh, terselip di sela-sela benda keras yang terpajang di ruang tidurnya atau bersembunyi di sebuah tempat penuh kegelapan. Tapi ujungnya, nafas berat itu dihembuskan. Dia benar-benar kecolongan, lagi. Ponsel Jisung, satu-satunya tempat yang mungkin menyembunyikan banyak bukti, kini musnah entah kemana.

Mark menghela nafasnya. Atensi itu dipalingkan bersama dengan jemarinya yang memijit keras si pangkal hidung. Yang ia duga-duga rupanya memang disulap menjadi fakta.

Lose Me If You Can ✔️Where stories live. Discover now