23. Tentang Adnan🌻

142 21 0
                                    

Suara bel pulang berbunyi dengan sangat nyaring. Semua murid berlarian menuju parkiran. Jingga memandang semuanya dari lantai dua tepat di depan kelasnya. Matanya tertuju pada seorang lelaki keluar dari ruang perpustakaan. Dia adalah Rayn. Lelaki berjaket bomber berwarna biru dongker itu sedang mengunci pintu perpustakaan. Ily pernah bercerita padanya kalau alasan Rayn selalu menyibukkan diri dengan aktivitas seperti ini karena dia betah berada di rumah. Banyak kenangan indah di sana namun kenangan buruk pula menyertainya. Rayn orang yang sangat tertutup. Dia membenci pengihanatan seperti—ayah kandung dia yang menghianati ibunya.

Rayn berbalik, sedikit mendongkak menatap Jingga. Kini, tatapan mereka berdua bertemu. Walau jarak antara perpustakaan dan gedung kelas Jingga di batasi oleh lapangan yang sangat luas, tatapan Rayn tak lepas dari gadis berkulit sawo matang dengan rambut di kuncir tinggi. Jingga melambaikan sebelah tangannya, mulutnya seperti berucap 'hati-hati'. Rayn mengerti, dia mengangguk ikut melambaikan tangannya singkat.

Rayn pergi, senyuman dia tak pudar begitu saja. Jingga bisa melihat lekukan garis pipi Rayn masih tercetak jelas. Semakin lama punggung Rayn menghilang terhalang oleh dinding. Ketika ia berada di dekat Rayn, entah kenapa ia merasa nyaman.

"SUN!" panggil seseorang membuyarkan lamunannya. Ia mencari-cari di mana sang pemanggil. Setelah bertemu, ia tersenyum tipis membalas senyuman Adnan. Adnan memberi kode melalui gerakan tangannya. Dia menunjuk ke arah Jingga kemudian beralih ke bawah sambil mengatakan. "Sini turun! Atau aku yang ke sana?"

Jingga menggeleng. Ia menunjuk ke arah dirinya lalu beralih menunjuk ke arah Adnan. "Aku yang turun," ucap Jingga lalu dia berlarian turun ke bawah.

Adnan menggeleng-gelengkan kepalanya. Menggendong tas di sebelah bahunya. Tidak lama, Jingga keluar dari kerumunan murid. Berlari melewati lapangan. Rambut kuncirnya terbawa ke kanan dan ke kiri seirama dengan gerakan tubuhnya.

"Jangan lari Sun!" teriak Adnan tapi tak didengarkan oleh Jingga. Dia malah semakin mempercepat gerakan kakinya.

Sesampainya di hadapan Adnan, Jingga berjongkok. Menahan beban tubuhnya di kedua lutut. Nafasnya tak beraturan, kedua bahunya naik turun. Jingga berdiri, menatap Adnan. "Maaf ya jadi nunggu."

"Mau nunggu seberapa lama pun aku pasti bakal nunggu kamu kok." Adnan tersenyum manis. " Sampai kamu ... bisa di samping aku lagi."

Jingga terdiam sejenak. "Aku udah ada di samping kamu."

Adnan menggeleng. "Iya. Kamu memang ada di samping kamu tapi status kita berubah. Aku ingin bisa kayak dulu lagi ... bisa gak?"

"Kamu udah ngomong kayak gitu berapa kali Adnan," sela Jingga.

"Bosen ya? Tapi aku bakal selalu nanya kamu. 'Aku mau kita kayak dulu lagi, bisa gak?' Sampai kamu mau jawab bisa," ucap Adnan sambil menggenggam tangan Jingga, "sekarang kamu masih bisu untuk menjawab kata bisa. Aku mau bawa kamu ke dokter boleh gak?"

"Do-Dokter?"

"Siapa tahu setelah dibawa ke dokter, kamu jadi mudah menjawab kata 'bisa'."

"Adnan. Kamu semakin hari semakin aneh." Dengus Jingga.

"Kalau aku gak aneh lagi. Kamu mau balikan sama aku?"

"Gak tau."

"Kok gak tau?"

"Liat aja nanti."

Adnan terkekeh pelan. "Aku pernah baca novel. Si cowok pura-pura deket sama cewek lain biar pacarnya cemburu. Aku kira itu bakal ampuh, buat kamu bisa balik lagi sama aku."

Jingga mendelik, berpura-pura tak peduli. Ia menggulungkan rambutnya ke ikat rambut.

"Kalau aku deket sama cewek lain. Kamu cemburu gak?"

"Gak. Kan kita udah putus. Aku gak berhak cemburu," jawab Jingga sedikit acuh.

"Berhak kok. Aku yakin kalau kamu masih cinta sama aku. Kalau orang cinta itu, gak suka kalau orang yang dicintai deket sama cowok atau cewek lain. Mau dia punya status pacar atau pun enggak. Cemburu itu wajar," balas Adnan membuat Jingga terdiam.

***

Jingga menelan salivanya kasar ketika melihat rumahnya diisi oleh orang lain. Menyesakkan memang, semua kenangannya bersama almarhum ayahnya dulu terhapus. Lihat saja, baru beberapa hari ia meninggalkan rumah ini sekarang rumah ini terlihat berbeda. Lessie langsung menjual rumah ini. Rumah berjuta kenangan. Tiba saja seseorang menyentuh bahunya, membuyarkan segala kenangan yang terputar di dalam otaknya. Ia menoleh, menatap Adnan sendu.

"Kamu gak boleh sedih. Rumah itu terjual dengan sangat cepat ... aku juga sedih sekali. Kenangan masa kecil kita tersimpan baik di sana."

"Tapi Adnan, Papa—kenangan Papa aku  ... Adnan!" Jingga menangis sambil menunjuk-nunjuk rumahnya. Adnan mengusap air mata Jingga lalu mendekapnya. Memberikan kekuatan untuknya.

Adnan melepaskan pelukannya. Menghapus air mata Jingga lagi. Adnan mengambil sebelah tangan Jingga kemudian menempelkannya di dada Jingga. "Papa kamu ada di sini. Di hati kamu dan kenangan—" Adnan menyentuh pelipis Jingga. "Semua kenangan itu tersimpan di sini."

Jarak mereka berdua sangat dekat. Jingga mendongkak, menatap Adnan sendu. "Tapi--"

"Abis ketemu Teh Nabila. Mau ketemu papa kamu?"

Jingga tersenyum lalu mengangguk. "Iya. Jingga mau ketemu sama Kak Jeno...."

Adnan mengusap rambut Jingga sambil tersenyum. "Kak Jeno dan papa kamu pasti bangga sama kamu."

"Bukan bangga Nan. Mereka malu punya anak dan adik kayak aku."

"Sst... malaikat lagi nulis ucapan kamu loh. Memangnya kamu mau, mereka malu beneran?"

Jingga refleks menggeleng. "Mereka pasti bangga sama Jingga."

***

"Aduh Adnan! Kamu apain Jingga!" omel wanita paruh baya setelah wanita itu memeluk Jingga.

Jingga sontak menggeleng. "Bukan Tante. Jingga cuma sedih rumah itu udah dijual," balas Jingga sambil menundukkan kepalanya sedih.

Alisa—Ibu Adnan tersenyum tipis, menarik kembali ke dalam dekapannya. Setelah beberapa detik, ia melepaskan pelukannya. Mengecup kening Jingga singkat. "Kamu gak usah sedih sayang. Semua kenangan indah di rumah itu sudah tersimpan di hati kamu kan? Doain almarhum papa dan kakakmu. Mereka butuh doa dari anak Sholehah," ucap Alisa.

Saat Lessie pergi bekerja di luar kota, Alisa-lah yang selalu menemaninya. Dia wanita karir yang sangat penyayang. Wanita baik itu menurunkan sifatnya pada Adnan. Tak heran, Adnan selalu ramah dan baik toh ibunya memang baik. Sosok Lisa sangat dikagumi oleh banyak orang di sini. Dia cantik, dermawan, baik pada semua orang dan ramah. Beruntung sekali suaminya tapi sayang—suaminya tak pernah bersyukur. Suaminya membenci wanita karier. Sampai saat ini hubungan suami istri itu baik-baik saja. Kasus seperti ini sama persis seperti orang tua Ily, hanya saja orang tua Adnan tidak sampai bercerai. Adnan baik-baik saja, dia selalu baik-baik saja. Saat sendirian dia sering menyakiti dirinya sendiri. Itu dulu, sebelum orang tuanya berpisah. Lena—adik Adnan bunuh diri karena tak sanggup pertengkaran kedua orang tuanya. Jingga tahu semuanya. Adnan hancur, ia tahu walau ia pura-pura awam dan tak mengetahui apa pun.

Jingga tersenyum kecut. Ia sedikit melirik Adnan. Hatinya bertanya-tanya, apakah dia baik-baik saja? Apakah dia tidak kesepian hidup tanpa seorang ayah?

"Udah saya bilangin padahal. Jangan panggil Tante, panggil Mama Lisa," gerutu Alisa kesal.

Jingga tertawa pelan. "Iya Mama Lisa."

"Nginep di sini ya? Sehari aja. Mama Lisa kangen sama kamu," ucap Alisa memohon.

Jingga mengaruk tengkuknya. "Tapi Ma—"

"Kakak tiri dia galak Ma. Pasti gak dibolehin sama kakaknya," sambar Adnan santai.

"Masa? Mama udah kenal Lessie lama. Dia pasti ngasih izin."

"Eh kayaknya kapan-kapan aja deh Ma. Hm ... gimana kalau weekend? Soalnya besok kan sekolah jadi gak leluasa," usul Jingga.

"Tapi bener ya. Minggu depan."

"Iya. Ma, insya Allah."


TBC

Haduh, lumutan ini lapak🥺

Am I Perfect?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang