Letters To A Sacred Soul

1.1K 109 695
                                    

Oops! Această imagine nu respectă Ghidul de Conținut. Pentru a continua publicarea, te rugăm să înlături imaginea sau să încarci o altă imagine.

.

.

.

Warning!!! Mature content

"Namaku Hyunji."

Rembang petang telah bermerah kesumba ketika kau mengulurkan tangan padaku, tak lama setelah dawai gitarku mengalunkan nada terakhir. Di belakangmu, manusia-manusia penghuni metropolis masih berlalu lalang, menyelesaikan sisa urusan mereka sebelum akhirnya pulang kandang. Satu-dua pejalan kaki masih sempat melempar recehannya ke dalam gigbag di hadapan sepatu usangku. Bunyi denting koin beradu koin terdengar nyaring di tengah kebisuan semu yang tercipta sesaat. Aku tertegun. Sepanjang hayat dan sepanjang diriku dapat mengenang, belum pernah rasanya menatap lekat iras seindah ini. Sementara ragaku tetap bergeming, memegang setangkai hortensia biru muda yang kau beri sesaat setelah mengucap bait aku tak punya uang, hanya bisa memberi ini.

"Tuan, kau tak apa?" tanyamu lagi, karena berdetik-detik setelahnya, kau dapati aku masih saja seperti pandir yang nyawanya terbang sesaat, mematung dengan bibir separuh melongo.

"Y-ya? A-aku tak apa. Terima kasih bunganya," jawabku terbata.

"Sama-sama," balasmu.

Hyunji? Hyunji.

Kuulang menyebut namamu dalam hati. Entah mengapa aku yakin, wajah sendumu pernah kulihat beberapa kali sebelumnya. Saat membaca serangkai tulisan pada celemek ungu tuamu barulah kumengerti, kau bekerja pada toko bunga tak jauh dari emperan tempatku biasa bermain gitar sembari melantunkan lagu--berharap sekeping dua keping terlempar dari tangan-tangan yang dermawan. Apa mungkin kita sempat berpapasan ketika kau merapikan bunga-bunga itu pada rak di depan toko, dan aku berjalan menuju tempatku biasa memetik dawai tiap pukul sepuluh pagi hingga senja seperti ini?

"Seesaw Florist?" tanyaku.

Kau sentuh bagian depan celemekmu, seakan mencari afirmasi dari kalimat yang baru saja kutanyakan. Lucu. Manis.

"Ah, iya, aku pegawai di sana," jawabmu kemudian, dan kau pun tersenyum. Senyum yang membuatku berkelana sesaat, dari tengah hiruk pikuk kota di penghujung hari, hingga ke savanah luas berselimut desau angin menyapu ilalang, yang hanya ada kau dan aku di tengah-tengahnya. Penatku hilang sekejap, pundakku lupa pada beban yang sedang ia pikul. Mengapa seajaib ini impresi yang dimunculkan senyum merekahmu itu? Jenis sihir apa pula ini?

"Yoongi. Min Yoongi," ujarku sesegera mungkin, teringat pada uluran tanganmu yang lupa kusambut. Lagi-lagi kau tersenyum. Senyum rupawan yang kurasa sudah terlalu berlebihan dan harusnya tak perlu lagi kau beri padaku. Karena wajahmu telah lebih dulu terlihat elok, meski tanpa kurva laksana bulan sabit itu.

"Baiklah, Tuan Min, semoga harimu menyenangkan. Dan mulai saat ini, kuharap kau tak keberatan jika pulang dengan membawa setangkai bunga setiap harinya." Setelah berkata demikian, kau membungkuk sopan, lantas berlalu dari hadapanku. Tak tahulah aku, apakah kau sekadar berbasa-basi agar musisi jalanan sepertiku ini berbesar hati, atau memang sungguh-sungguh akan menemuiku lagi keesokan harinya.

BELAMOUR 3.0Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum