3 : Villion Menghilang

346 67 3
                                    

Zafran tergesa-gesa masuk ke rumah ibunya. Informasi dari wanita tua itu membuatnya tak bisa menahan diri, mengingkari janji dalam hati untuk tidak pernah menginjakkan kaki lagi di rumah tersebut.

"Ingat pulang juga," ucap seorang wanita yang duduk dengan sangat anggun di ruang keluarga.

"Di mana Villion?" Tanpa basa-basi Zafran langsung bertanya.

"Duduk dulu, kapan lagi kamu datang ke rumah ini." Wanita itu menatapnya begitu intens. "Kamu kurusan, kenapa? Viska udah nggak ngurusin kamu?"

Mengeram dalam hati, Zafran menatap tajam wanita itu. Meskipun sering bersitegang, nyatanya ia tak pernah bisa membantah beliau. Biar bagaimanapun, Camelia adalah ibu yang melahirkannya.

Zafran duduk di hadapan beliau, geraknya gelisah, pertanda bahwa pikiran masih sepenuhnya ada pada Villion. Padahal, ia sering melarang anak semata wayangnya itu datang ke rumah ini sendirian, tetapi masalah yang tengah dialami oleh mereka membuat Villion tak bisa tinggal diam.

"Dimana Villion?" tanyanya lagi.

"Di kamarmu, mungkin lagi tidur siang." Camelia menikmati tehnya, kemudian dengan sangat anggun mengembalikan cangkir itu ke atas piring kecil. "Anakmu tadi ngancam Ibu," ucapnya.

Zafran memicingkan mata. "Bukannya kebalik?"

Wanita itu tertawa ringan. "Ya, Ibu rasa dia nurunin sifat itu dari Ibu," tersenyum bak mengejek, "tapi wajahnya sama saja kayak ayahmu, Ibu nggak suka."

Tak berkomentar apapun, Zafran bangkit dari duduknya, bersiap untuk menemui sang anak di lantai atas. Namun, suara wanita itu kembali membuatnya mengalihkan perhatian.

"Dia ngancam mau bunuh diri," ucap beliau, mata terarah ke jendela yang memperlihatkan taman samping.

"Maksud Ibu?"

"Anakmu, dia terluka. Ngancam bunuh diri pakai pecahan vas bunga," jelas beliau, "dia masih lima belas tahun, berani-beraninya ngeliatin taji di depan Ibu."

Tatapan Zafran menajam, tangan terkepal sangat erat, buku-buku jari memutih. Meski begitu, mulutnya terkunci untuk meluapkan emosi. "Aku ke atas dulu." Beranjak dari ruang tersebut.

"Hm, jangan sampai kesasar, soalnya kamu udah lama nggak ke rumah ini."

Zafran tak menyahuti, kaki dengan pasti menuju kamar masa mudanya. Kekhawatiran merayap hingga membuat tangan bergetar kecil. Ia tahu bahwa anaknya itu sangat nekat, ancaman bukan sekadar ancaman. Sebab dulu Zafran pernah melakukan hal itu.

Masa lalu yang gelap, usianya masih sangat belia, belum sanggup diterpa tekanan bertubi-tubi. Kebebasan direnggut, hak memilih pun tak ada. Sampai akhirnya Zafran murka, itu saat ia ingin menikahi Viska, perempuan yang sangat dicintainya sampai sekarang.

Izin tak dikantongi oleh sang ibu, Zafran mengancam untuk mengakhiri hidup. Namun, semua dianggap dusta belaka. Maka saat itulah dirinya mengiris pergelangan tangan, dan berakhir di rumah sakit.

Setelah siuman, keinginannya dituruti. Bukan oleh ibunya, tetapi sang ayah. Sampai sekarang Zafran sangat berterima kasih kepada beliau, hanya saja ternyata di balik semua itu ada kesepakatan yang dibuat oleh ayahnya dan ibunya.

Ya, setelah menikah, Zafran harus menuruti kemauan sang ibu untuk menjadi penerus perusahaan NC Grup. Sedangkan ayahnya, yang juga ingin menjadikan Zafran sebagai penerus Yayasan ABM Kasih, mengurungkan  niat sebab menyetujui kesepakatan tersebut.

Zafran memutar kenop pintu, masuk ke dalam kamar yang penuh dengan nostalgia. Buku-bukunya masih utuh, begitu pula dengan kaset CD dan tape. Kamar ini adalah saksi masa kelamnya, yang kebanyakan orang tak tahu bagaimana ia menjalani hidup.

Sepotong Kisah 02 (On-going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang