33 : Menunjukkan Jati Diri

154 29 0
                                    

Usaha Villion mendekatkan Zafran dan Viska nyatanya tak sia-sia. Semakin lama semakin dekat, jika dilihat dari jarak duduk dua insan itu. Villion berdiri di anak tangga sudah lima menit lamanya, senyum puas ia sunggingkan.

Sebenarnya Villion sudah sangat puas bermain play station bersama Vano, oleh sebab itu ia ingin mengajak Zafran kembali ke rumah. Namun, kedekatan orang tuanya itu membuat niat tersebut urung dilakukan. Alhasil dirinya menjadi penonton dalam jarak enam meter.

Melangkah dengan sangat pelan, Villion tidak ingin menimbulkan sedikit pun bunyi agar Zafran dan Viska tak terganggu. Ia duduk di belakang sofa yang diduduki oleh kedua insan itu. Villion menguping pembicaraan yang sangat serius itu.

"Sumpah, gue nggak ngerti," keluh Zafran.

Tawa Viska mengalun dengan indah. "Gue nggak bosan ngulang, kok."

"Lo nggak bosan, tapi kepala gue kayak mau lepas," Zafran mengacak rambut, "lo kerjain aja, deh. Lagian, guru gue juga nggak bakal nanya siapa yang ngerjain."

Viska berdecak. "Nggak, pokoknya lo harus ngerti."

Lelaki itu menghela napas berat, terduduk lemas di atas sofa. "Gue mau pulang," ucapnya kemudian.

"Ya udah, PR-nya nggak bakal selesai."

Sebuah ancaman, dengan sangat terpaksa Zafran kembali menegakkan bahu dan mulai menatap buku. Sifat Viska yang baru Zafran ketahui, dipikirnya perempuan itu akan sangat berbaik hati mengerjakan pekerjaan rumahnya tanpa Zafran ikut andil.

Ternyata, Viska tipe orang yang ingin membuat orang lain ikut paham dengan apa yang dipahaminya. Cukup menyebalkan, sebab sedari tadi Zafran tak mengerti cara mengerjakan soal-soal logaritma itu. Dan juga, ia kesal karena merasa kalah dari Viska.

Dering ponsel mengalihkan perhatian Zafran, segera mengeluarkan benda itu dari tasnya. Menoleh pada Viska, anggukan diberikan sebagai izin bagi Zafran untuk mengangkat telepon dari nomor tak dikenal tersebut.

"Halo," sapa Zafran, "ini siapa?"

"Halo, Bang Zaf, ada Villi, nggak, di situ?"

Zafran mengerutkan kening, suara perempuan yang tak dikenalnya, membuat bertanya-tanya. Meski begitu, ia menoleh ke arah anak tangga, mencari keberadaan Villion yang sudah pasti masih asyik bermain play station di kamar Vano.

"Ada. Ini siapa, ya?" tanyanya lagi.

"Saya mau bicara dengan Villi, ini penting banget." Perempuan itu tidak menjawab pertanyaan Zafran.

"Boleh, tapi ini siapa?" Nada bicara Zafran sedikit meninggi, sebuah tepukan mendarat di lengannya.

Viska memberikan tatapan sengit. "Yang santai, jangan kepancing."

"Habisnya dia ngeselin, ditanya siapa malah nggak jawab," gerutu Zafran, kemudian mematikan ponsel secara sepihak.

Sebuah tepukan kembali diberikan Viska. "Ngapain dimatiin, siapa tahu itu penting."

Zafran berdecak. "Nyariin Villi doang, palingan teman sekolah."

Mendengarkan itu, Villion yang sedari tadi berada di belakang sofa, segera bangkit dari duduk. "Apa katanya?"

Seketika kedua orang tuanya itu tersentak kaget sebab sahutan darinya yang tak terduga. Zafran dan Viska menengok ke belakang, wajah mereka berdua berubah menjadi sangat kesal. Villion menyengir seperti kuda, kemudian berjalan cepat menuju ponsel sang ayah.

"Sejak kapan lo di situ?" tanya Zafran.

"Hm?" Villion tersenyum, "sejak tadi."

Mata beralih pada layar ponsel, nomor tak dikenal kembali menghubungi. Dengan sangat cepat Villion menerima telepon tersebut, suara seorang perempuan yang asing di telinganya, membuat ia mengernyit.

Sepotong Kisah 02 (On-going)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora