35 : Kesepian Oma

127 28 8
                                    

Berdiri tegang di hadapan wanita paruh baya, Villion berkali-kali menelan saliva. Di masa depan, ia sama sekali tak takut pada wanita ini karena beliau sudah lemah untuk melakukan hal buruk. Namun, di masa ini, sang oma terlihat masih terlihat sangat bugar, itu mengapa Villion sangat waspada.

Sebelum masuk ke ruang kerja ini, Villion berpapasan dengan dua orang pria yang selalu menemani Camelia ke manapun. Jika kemarin Villion berani karena mereka lalai pada geraknya dan fokus pada Zafran, sekarang ia hanya sendirian, itu berarti kalah tenaga.

"Kenapa mau ketemu saya?" tanya Camelia yang duduk di kursi kekuasaannya.

Di ruangan yang penuh dengan rak buku serta berkas-berkas, Villion berdiri di hadapan sang oma. Wajah itu tak terlihat jejak frustrasi, seperti yang dikatakan Ratu. Beliau nampak baik-baik saja, duduk tenang masih dengan tatapan mengintimidasi.

"Cuma mau lihat keadaan Oma," jawabnya.

Villion tak ingin menutupi apapun, jika itu memang harus ia lakukan untuk membuat beliau luluh. Sebutan oma bisa ditahannya, hanya saja ia sengaja melakukan.

Camelia memalingkan wajah, kemudian kembali menatap Villion. "Siapa kamu sebenarnya? Kenapa Zafran jadi seperti itu sejak kamu ada?"

Ditanya begitu, Villion menghela napas berat. Sedari tadi ia tak dipersilakan untuk duduk, padahal di hadapan beliau terdapat dua kursi empuk dan sofa di sebelah jendela. Dengan keberanian naik satu tingkat, Villion berjalan mendekati meja Camelia, menarik satu kursi dan duduk di sana.

"Kurang sopan kamu!" protes Camelia, "saya nggak pernah nyuruh kamu duduk."

Villion berdecak. "Kelihatan doang berpendidikan, tapi ternyata nggak bisa milih kata yang benar," sindirnya, "persilakan, bukan nyuruh. Saya dan Oma nggak sedekat itu buat kata nyuruh. Gimana mau dekat, Oma aja mati-matian nolak saya."

Sang oma menggebrak meja, membuat Villion tersentak kaget. "Ya ampun! Bener-bener nggak ada hati, ya," ia mengelus dada, "Oma, selamanya hidup Oma nggak bakal kayak gini, pasti ada pasang surut. Kalau sudah begitu, siapa yang bakal peduli? Sedangkan Oma udah nggak punya orang tua."

"Tutup mulutmu!" kecam Camelia.

Villion mengulum bibirnya, memberikan kesempatan kepada Camelia untuk berbicara. Ya, hari ini ia sudah berniat untuk menjadi pendengar, tetapi nyatanya mulut ini tidak bisa diam, terus berkata hal yang menusuk.

"Kamu siapa, baru kenal sudah berkomentar tentang saya," Camelia mendengkus, "jangan sampai saya panggil penjaga, ya."

Villion berdecak berkali-kali, rasa takutnya tadi kini telah hilang dengan sempurna. Dirinya diselimuti dengan keberanian, setelah melihat keras kepala Camelia yang tak bisa dihancurkan walau ia telah memukul dengan komentar pedas.

"Komentar itu sebagian dari rasa peduli," ucap Villion, "jadi, Oma udah tahu gimana rasanya kesepian?"

Camelia menaikkan satu alisnya. "Apa maksudmu?"

"Yaah ... setelah ditinggalkan suami dan anak, gimana perasaan Oma?"

Ekspresi wajah Camelia berubah marah, gurat serta rona merah muncul seketika. Villion menggerutu dalam hati, menyadari bahwa topik tersebut sangatlah sensitif untuk diperbincangkan. Ia bersandar, berusaha untuk santai dan tak merasa takut.

"Oma masih bisa punya kesempatan untuk perbaiki, jangan pendam sendiri," Villion berdeham, "yang aku lihat, opa juga lagi nungguin Oma buat berubah."

Camelia berdecak sembari memalingkan wajah. "Saya tidak butuh pria yang mata duitan."

Villion memutar bola mata, bosan mendengarkan cacian yang selalu terlontar untuk sang opa. "Kalau opa mata duitan, dia nggak bakalan relain pekerjaannya demi kebebasan anaknya."

Sepotong Kisah 02 (On-going)Where stories live. Discover now