20. Step One

2.9K 307 18
                                    

Seminggu setelah kejadian ciuman itu, aku berusaha mengatur sikapku. Aku memilih bungkam dan lebih suka mengurus urusanku sendiri. Aku membantu Seun melakukan segala hal tanpa banyak berbicara. Aku berubah menjadi orang yang diam, sigap dan banyak bergerak.

Aku menjaga jarak antara diriku dan Seun sebisa mungkin agar dia nyaman. Jika hari menjelang malam, aku lebih memilih bermain bersama Christian di ruang makan. Aku membentang matras di lantai, lalu sebisa mungkin membantu bayi mungil itu merangkak.

Kadang kami tertawa bersama, lalu kemudian aku akan memintanya diam secara tiba-tiba. Dia terlihat kaget sesaat. Melihat aku kembali tertawa, bayi itu akan ikut tertawa lagi. Kebiasaanku itu menjadi permainan yang seru untuk kami jajalkan.

Ketika mengantar Christian untuk tidur pun aku berusaha semampunya agar Seun tidak terganggu. Biasanya aku akan berjalan lebih lambat dari biasanya sampai kami memasuki kamar. Selesai makan pun aku langsung menuju ke kamar tidurku. Aku mengunci pintu lantas melakukan segala hal di dalam kamarku. Kadang jika bosan aku berpindah ke balkon.

Selepas satu minggu berlalu, Seun kembali berulah. Sudah tiga hari dia selalu komplain mengenai masakan yang aku masak. Kata Seun masakanku kurang garam, mengandung kacang, sambalku terlalu asam, dan lain sebagainya. 

Aku tidak pernah melawan ketika dimarahi seperti itu. Yang kulakukan hanyalah meminta maaf dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Aku berinisiatif menyajikan makanan yang sudah pernah kumasak sebelumnya. Rata-rata menu maksanku satu minggu lalu tidak pernah mendapat komentar negatif dari Seun. Bagiku itu merupakan langkah aman agar tidak dimarahi olehnya.

Itulah yang terjadi pada malam hari ini. Seun turun ke lantai bawah dengan penuh pesona. Dia memakai baju kaos yang aku pilihkan. Seun menguarkan aroma harum seperti biasanya. Aku duduk di depan meja makan dengan sopan.

"Segini?" tanyaku sembari memberikan nasi di piringnya.

"Hm," balasnya datar.

"Lauknya ini?" Aku mengambil sendok sayur bersiap untuk memberikan sayur dan lauk di piringnya.

"Uang belanja yang gue transfer  lo pake ngapain aja? Rasanya tiap hari lo masakin hal yang sama terus." Tanganku melemas seketika. Aku menaruh sendok sayur tadi pada tempatnya.

"Yaudah lo mau makan apa, gue pesenin."

"Gue nanya, duitnya dimana?"

"Seminggu ini gue salah masak terus lo omelin, jadi gue ngulang resep masakan seminggu lalu yang gak pernah lo komentarin, biar gak salah. Duit belanjanya masih ada," jelasku.

"Gue juga gak suka yang ini."

"Lo mau makan apa? Gue pesenin sekarang." Aku mengutak-atik ponselku sembari menunggu dia menjawab pertanyaanku.

"Gue mau steak medium rare sama sup jamur." Aku cukup kaget mendengar pesanannya. Dua hari lalu aku memasak menu seperti Seun yang pesan saat ini. Kala itu dia berkomentar bahwa daging yang kumasak terlalu tebal dan sup jamurku kurang creamy.

"Udah gue pesen, tinggal nunggu aja," ujarku. Seun memilih menonton televisi sedangkan aku kembali bersembunyi di lorong antara meja makan dan meja pantry. Perutku sudah sangat kelaparan, namun aku berusaha menahannya demi Seun.

Tiga puluh menit kemudian, pesanan milik Seun tiba. Aku membantu Seun memindahkan makannya ke piring, sebelum kami makan bersama. Makan bersama di sini adalah dia menikmati makan malam mewahnya sendiri sedangkan diriku menikmati masakan yang tadi Seun tolak. Seperti malam-malam sebelumnya, kami berdua makan dalam diam.

***

Setelah malam itu, aku berinisiatif memberikan semua uang belanja pada Siti. Aku juga mewanti-wanti Siti agar bijak dalam berbelanja. Aku memberikan list bahan makanan yang tidak bisa Seun makan. 

Bad PapaWhere stories live. Discover now