Bab 2 : Sampai Kita Bertemu Lagi

1K 169 12
                                    

The white flower waited for the black butterfly to visit

Wearing thorns it stood tall, surrounded by all, wounded some and fall

A white flower, couldn't walk and couldn't talk

A black butterfly passed by wings so wide it fluttered

Avoiding the thorns, the butterfly kissed it's petals

The flower promised that it would never wilt

Lan WangJi melantunkan lirik itu berulang kali di kepalanya. Dia tidak salah dengar. Tidak mungkin dia salah. Dia tidak berhalusinasi. Orang itu... ada di sini.

Mengikuti asal suara itu datang, yang secara bertahap menjadi lebih keras, seperti detak jantungnya sendiri.

Langkahnya ragu-ragu. Bagaimana jika itu bukan dia? Bagaimana jika itu orang lain. Tapi... Bagaimana jika... itu benar-benar dia...

Saat dia berjalan, kerumunan semakin padat, dengan punggung mereka menghadapnya. Sekarang dia berdiri dekat di belakang orang-orang itu, dia bisa mendengarnya dengan jelas. Suaranya jelas, halus dan lembut, dengan aura ketulusan. Suara yang begitu familiar baginya. Suara yang dia pikir tidak akan pernah dia dengar lagi. Tidak hingga sekarang.

Cara orang itu menyanyikan setiap liriknya menarik hatinya.

Lan WangJi berdiri diam di belakang kerumunan. Dia tidak berani mengangkat kepalanya. Kedua tangannya mengepal begitu keras hingga buku-buku jarinya memutih. Apakah dia siap melihat wajah orang itu lagi? Orang yang tidak pernah ingin dia lupakan, tetapi tidak pernah dia harapkan untuk melihatnya lagi. Tangan kanannya sedikit gemetar, setelah memperbaiki kacamatanya, dia secara perlahan mengangkat kepalanya.

"Wei Ying."

Dia berbisik pada dirinya sendiri. Sudah tiga belas tahun sejak dia menyebut nama itu. Nama itu terasa aneh tapi akrab pada saat bersamaan. Meskipun saat ini, dia ingin mengulang nama itu lagi dan lagi.

Di panggung kecil, semacam panggung sampingan dari festival, berdiri Wei WuXian.

Mengenakan T–shirt hitam polos yang terselip longgar di celana jinsnya yang melilit kakinya dengan sempurna. Rambutnya diikat menjadi simpul longgar, beberapa helai rambut jatuh di wajahnya. Butir-butir kecil keringat menghiasi dahinya, itu pasti karena energi keaktifan, karena udara di sekitar mereka sekarang dingin. Meskipun tanda-tanda kedewasaan telah sedikit menghiasi wajahnya, dia masih tetap bersinar seperti biasa. Dengan jari-jarinya yang ramping memetik gitar yang tergantung di bahunya, Wei WuXian tersenyum menyilaukan ke arah penonton. Itu sama, wajah yang sama yang diketahui Lan WangJi tiga belas tahun yang lalu.

Jantungnya berhenti.

Hanya untuk berdetak lagi dengan tiba-tiba, dua kali lebih cepat dari sebelumnya.

Semuanya berkelebat di benak Lan WangJi. Lagu, suara, rambut, wajah, kehadiran Wei WuXian. Wei WuXian. Wei Ying.

Lagu itu semakin mendekati akhir. Dia tahu kalimat demi kalimat.

And as the rain falls, the flower stands still

And as the rain falls, the butterfly stay still

And in the storm and under the blazing sun

Together they can make it all

Wei WuXian memejamkan matanya. Senyum terpampang di wajahnya. Dia tidak ingat kapan dia mendapatkan inspirasi untuk menulis lagu ini, tetapi sekarang kata-kata dan melodi mengalir di benaknya dengan mudah.

Hening sesaat setelah lagu berakhir, bahkan sebelum orang-orang mulai bertepuk tangan, tiba-tiba terdengar suara teriakan, semua kepala menoleh mencari sumber suara. Kelopak mata Wei WuXian terbuka, jantungnya berdegub kencang dan dia juga mencari tahu apa penyebab keributan itu.

A Lifetime Confidant (Terjemahan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang