Bagian 25

145 28 6
                                    

Rumah dua tingkat yang biasanya sepi itu mendadak ramai hari ini karena ada acara keluarga, setiap bulan mereka memang bergiliran mengunjungi rumah sanak saudara dan mengadakan arisan. Safira melarangnya membantu dan menyuruh tetap di kamar agar fokus belajar meskipun wanita itu tergesa-gesa menyiapkan semuanya sendirian, sementara Bram harus ke kampus karena ada jadwal mengajar sebentar.

Ketika Salsa turun dari lantai dua dan bergabung dengan para sepupunya yang sedang berkumpul, satu per satu dari mereka membubarkan diri. Ia bukan tak menyadari jika semua keluarga dari pihak mamanya itu menatap dengan pandangan remeh sejak tadi, tetapi Salsa mencoba menyabarkan diri dan tetap tersenyum.

"Sal, kamu masuk mana nanti?" tanya Cilla yang merupakan kakak pertama mamanya.

"Belum tahu, Tante," jawab Salsa sopan.

Mendengar hal tersebut, Dea-adik ipar mamanya-ikut menimbrung. "Pengen jurusan apa?" tanya wanita yang memakai perhiasan secara berlebihan itu

Sebelum menyahut, Salsa terlebih dahulu melihat ke arah Safira. Ia tidak mau jika jawabannya nanti membuat wanita itu murka. "Papa sama mama nyuruh masuk kedokteran," sahutnya mengambil jalan aman.

"Kedokteran? Lo yakin?" celetuk kakak sepupu Salsa yang paling tua. Jabatannya sebagai sekertaris di salah satu perusahaan besar yang ada di Bandung itu membuatnya besar kepala.

"Dengan IQ serendah itu pengen masuk kedokteran? Mimpi!" sindir Ara.

"Gak boleh gitu. Salsa paling muda di antara kalian, harusnya didukung bukan di-bully," tegur Dea pada anak dan keponakannya, "ngomong-ngomong di sekolah kamu gak ada ikut perlombaan apa pun, Sal? Belom pernah bawa hadiah piala atau piagam gitu?" tanya wanita itu pada Salsa.

Ia sudah tidak heran dengan sifat Ara dan Dea yang tak jauh berbeda. Di antara semua keluarga dari pihak mamanya, ibu dan anak itu yang paling sering menyindir serta menghina kemampuannya yang menurut mereka tidak seberapa.

"Gak apa-apa kalau kamu mimpinya pengen jadi dokter, semoga tercapai, ya, Sal. Tante tunggu kabar baiknya," ucap Cilla.

"Semoga masih tetap waras, ya. Masuk ke dokteran berat, loh, Rachel aja yang pinter sempat drop, apalagi elo yang otaknya cuma segede biji jangung," ujar Heni menyambung perkataan mamanya.

Tawa mereka mengudara ketika melihat wajah lesu Salsa, keempatnya tampak puas melihat si bungsu seperti kehilangan gairah hidup. Safira masih tetap bersikap biasa saja dan duduk santai sambil menyesap es sirup yang dibuatnya, sesekali ia ikut terkekeh mendengar guyonan dari saudara dan iparnya.

Salsa sendiri merasa tidak ada yang lucu, ia mencoba menarik bibir melengkung ke atas memberikan senyuman meski terkesan terpaksa. Situasi seperti ini membuat gadis itu muak dan ingin cepat berlalu, ia lebih baik mendekam diri di kamar sambil belajar atau mengerjakan tugas.

"Ra, Rachel apa kabar? Aduh, kangen sama si cantik yang satu itu? Pasti makin cantik, ya? Kakak yakin banyak cowok yang suka sama dia," tanya Cilla.

"Rachel baik. Iya, auranya makin bersinar. Apalagi kemaren sempat diberikan sebagai dokter teladan. Mungkin tahun depan dia baru melanjutkan S2," jawab Safira antusias.

"Untung kamu punya anak kayak Rachel, seenggaknya ada yang bisa dibanggakan. Jadi, gak terlalu malu-maluin keluarga," sindir Dea.

Rasanya Salsa ingin menangis dibicarakan secara terang-terangan seperti ini, apalagi mamanya diam saja dan tidak memberikan pembelaan apa pun. Memang lebih baik setiap ada kumpul keluarga ia tidak pernah pergi, setidaknya rasa sakit hati itu tak terasa karena mendengar omongan-omongan keluarganya yang merasa paling pintar dan selalu menghakimi itu.

Tak tahan dengan situasi seperti sekarang, Salsa langsung berlari naik ke kamarnya tanpa berpamitan dengan yang lain. Ia sudah tidak peduli tata kerama saat mereka yang lebih tua menunjukkan sikap yang tak layak dicontoh. Telinga gadis itu panas mendengar ocehan-ocehan tidak bermanfaat dan selalu berisi sindirian tersebut.

"Iya. Aku emang bodoh, tapi bukan berarti aku gak bisa kayak Kak Rachel. Bukannya orang yang rajin bisa menyaingi orang pintar?" gumam Salsa.

Gadis itu masuk ke kamar mandi dan memutuskan untuk berendam sebentar sebelum mulai belajar, ia ingin merelakskan tubuh dan menjernihkan pikiran agar tidak terlampau marah kepada keluarga mamanya yang sangat kurang kerjaan itu.

Ponsel yang semula diletakkan di atas westafel langsung diraih, ia memutuskan berendam sambil menonton film Doraemon yang sudah berulang kali dilihatnya. Salsa tak pernah bosan melihat kartun itu, malah semakin berharap jika doraemon benar-benar ada dan bisa membantu layaknya yang dilakukan pada Nobita.

Lima belas menit dilalui, Salsa segera bersalin dan memakai baju. Ia menyiapkan lilin aroma terapi di dekat meja belajar agar terasa lebih fresh, tak lupa juga menghidupkan musik agar percakapan yang terjadi di lantai dasar rumahnya tidak terlalu kedengaran dan merusak konsentrasi serta mood-nya ketika belajar.

Namun, baru saja ingin membuka buku, deringan ponsel membuat Salsa lanngsung meraih dan melihat siapa yang menelepon malam-malam begini. Senyum gadis itu mengembang ketika melihat nama Rey tertera di sana. Sebelum mengangkat, ia lebih dulu bergerak ke arah pintu dan menguncinya agar Safira atau Bram tidak bisa masuk.

Ia menarik napas untuk menghilangkan kegugupan yang tiba-tiba menyerang, lalu menghembuskan secara perlahan. "Halo, kenapa, Kak?" tanya Salsa sambil mengulum senyumnya.

"Enggak. Pengen nelepon kamu aja, kakak ganggu gak, nih?" tanya Rey balik.

"Tadi aku baru mau belajar, sih," jawab Salsa jujur.

Sejenak tidak ada sahutan apa pun dari Rey, Salsa menjauhkan ponselnya dari telinga untuk memastikan jika telepon mereka masih terhubung. "Kak?" panggil gadis itu.

"Iya, Sal. Maaf, ya, jadi ganggu kamu belajar. Ya udah, kakak tutup dulu biar kamu bisa fokus. Nanti kalau ada senggang kita teleponan lagi. Semangat, Salsa!"

"Makasih, Kak."

Tak sampai tiga menit mereka sudah memutuskan sambungan, tetapi hal tersebut membuat mood Salsa kembali stabil. Ia kembali menghadap hamparan buku-buku yang sudah terbuka dan mempelajari materinya, gadis itu ingin membuktikan jika tak semua anak yang memiliki IQ rendah tidak bisa sukses.

"Oh, iya, besok ada tugas buat makalah pelajaran Olahraga!" pekik Salsa sambil menepuk dahinya sendiri.

Ia segera meraih laptop dan mengerjakan tugas tentang materi Basket sedetail mungkin, gadis itu mencari referensi dari buku paket dan Google untuk makalahnya kali ini. Namun, baru tiga halaman yang dikerjakan, mata gadis itu memberat dan ingin tidur. Ia menguap sebelum membaringkan kepala di atas meja belajar dan berbantalkan tangan kanannya sendiri.

Laptop gadis itu masih menyala dan menampikan gambar lapangan basket yang belum diberikan ukuran, beruntung sebelum benar-benar terlelap tadi tugasnya sempat disimpan sehingga tidak akan hilang meski nanti laptopnya mati.

"Besok aja lanjut ngerjainnya. Semoga bangun lebih awal."

Little Things [END]Where stories live. Discover now