"Jadi, beneran ya?"
Hyeongjun berjengit mendengar suara Wonjin yang mengejutkannya. Dahi Hyeongjun berkerut, tak mengerti apa yang dimaksud temannya ini.
"Itu, Hitomi Athalla udah sadar. Beneran ya?" tanya Wonjin lagi.
Pertanyaan ini lagi.
"Iya kali."
"Kok, lo kaya gak seneng gitu?" tanya Wonjin.
"Hah? Gak seneng gimana? Gue ikut seneng lah. Buat keluarganya. Pasti mereka udah gak cemas lagi kan?"
Iya, tapi dia gak akan pernah inget apapun tentang semua yang dialaminya selama koma.
Setelah Wonjin kembali ke bangkunya, Hyeongjun memejamkan matanya erat. Bolehkah ia berharap Hitomi dapat mengingatnya?
"Mah,"
Perempuan paruh baya itu tersenyum lebar, "Iya? Kamu lapar, sayang?"
Perempuan berpipi chubby itu menggeleng, "Kapan aku bisa pulang?"
Perempuan paruh baya itu menghela napas, "Kapanpun kamu mau. Tapi tidak usah terburu-buru. Kalau kamu mau istirahat lebih lama, malah lebih bagus."
Hitomi mengangguk, "Bisa gak Ma, kalau aku pulang besok? Aku udah gak papa kok."
"Nanti kita tanya Dokter ya. Tapi saran Mama sih, kamu harus lebih banyak istirahat."
Hitomi mengangguk.
Hening. Hitomi asik memandang pemandangan dari jendela rumah sakit. Ia sudah tidak berada di ruangan yang penuh alat-alat itu. Sekarang di ruang rawat biasa yang lebih lengang.
Saat Hitomi terbangun, yang pertama ia lihat adalah sosok Ibunya. Wajahnya terlihat lelah, namun tak kuasa menahan tangis ketika melihatnya terbangun. Membuat Hitomi merasakan suasana yang sudah lama tidak ia rasakan.
Hitomi merasa berkali-kali lipat lebih baik. Memang, Hitomi merasa semuanya lebih bersahabat. Orangtuanya, suasana. Hitomi merasa lebih hidup.
Tapi ia tidak tahu, apa yang membuat ini semua terjadi. Rasanya, tempo hari lalu ia merasa begitu putus asa. Menjalani hari-hari berpedoman pada keputusan orangtuanya. Menjalani semuanya dengan terpaksa.
Hingga kecelakaan itu terjadi. Dan seakan, semuanya berubah.
"Mama minta maaf ya." tangan hangat itu menggenggam tangannya lembut, membuat Hitomi sedikit berjengit.
"Mama udah memaksa kamu. Membuat kamu tidak lepas. Membatasi kamu, menekan kamu. Mama sadar, begitu berlebihan bertindak."
Mata Hitomi berkaca-kaca saat menyadari Sang Ibu tak bisa menahan air matanya.
"Maafin Hitomi juga Mah, yang masih jauh dari harapan Mama."
Perempuan paruh baya itu menggeleng kuat. Sembari menahan isakkan, ia menatap Hitomi lembut, "Kamu sudah melakukan yang terbaik. Mama bangga sekali sama kamu. Papa juga bangga tentunya. Kami sangat bangga, Nak."
Hitomi terisak dan memeluk Sang Ibu erat.
"Apapun, asal Mama tidak kehilangan kamu."
"Hoi,"
Hyeongjun berjengit kaget. Lagi-lagi Yuvin, sang Kakak, mengejutkannya. Memang sudah menjadi hobi Si Anak Tengah mengejutkan Si Bungsu.
"Galau banget keliatannya." sambung Yuvin.
"Biasa aja tuh." sahut Hyeongjun.
"Nih, piscok." Yuvin menyodorkan sepiring piscok ke adiknya itu. Hyeongjun mengangguk, sembari bergumam berterimakasih.
"Cerita aja sih kalau pengen." pancing Yuvin lagi.
Mata Hyeongjun menerawang ke langit malam. Iya, dua adik-kakak itu tengah duduk di teras. Melihat bintang-bintang yang begitu terang malam ini.
"Kalau kita mikirin orang yang sama secara terus-terusan, artinya apa?" tanya Hyeongjun ragu. Ia tak yakin Yuvin bisa menangkap maksudnya. Ia malah bersyukur omong-omong.
Dahi Yuvin berkerut. Tetapi ia sadar. Tapi ia tak ingin meledek sang adik. Takutnya, Hyeongjun tidak ingin bercerita apapun lagi kepadanya.
"Yaaa. Tergantung. Bisa benci, bisa peduli, atau bisa jugaㅡ"
"Bisa juga apa?"
"Bisa jugaㅡsuka."
Benci? Enggak deh. Peduli? Ya, sedikit. Suka?
Masa gue suka sama Hitomi?
YOU ARE READING
Out of Body ; Hitomi, Hyeongjun
Short Story( 𝘧𝘵 𝘴𝘰𝘯𝘨 𝘩𝘺𝘦𝘰𝘯𝘨𝘫𝘶𝘯, 𝘩𝘰𝘯𝘥𝘢 𝘩𝘪𝘵𝘰𝘮𝘪 ) bisa bantu aku?