16 - DOA, KUAT, PERCAYA

655 127 22
                                    

ALVABETH BY VALENT JOSETA

Instagram : @valentj8 & @hf.creations

****

Gamma memasuki mobil Alva dengan cepat dan menutup pintu pelan-pelan sesaat setelah Alva membanting pintunya keras. Jujur, Gamma masih sangat takut dengan kejadian tadi. Hampir saja dia dibawa pria mabuk tadi entah kemana jika Alva terus memandanginya dari jauh. Sayangnya, kondisi memaksa agar ia menepikan rasa takutnya. Emosi Alva jauh lebih penting sekarang.

Alva memeluk roda kemudi di hadapannya dengan satu tangan lalu membenamkan wajahnya di sana. Emosinya sudah meluap dan entah harus ia salurkan dalam bentuk seperti apa. Tangan kanannya merogoh ponsel dari saku celananya.

Nada sambung diakhiri oleh suara perempuan yang tak asing di seluruh penjuru Indonesia; "Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Silakan tunggu beberapa saat lagi."

Alva mengembuskan napasnya dengan kasar. Seharusnya Betha ada di saat-saat seperti ini. Sama seperti sebelumnya.

Gamma menatap Alva prihatin. Ia tahu, bukan lebam karena tamparan yang membuat sisi lemah sang ketua OSIS ini keluar. Luka hatinya pasti lebih besar dari sekadar lebam.

"Kak," panggil Gamma lembut dan sangat hati-hati. Alva bergeming. Napasnya semakin memburu dan bahunya naik turun.

"Gue antar lo pulang," ucapnya sadar Gamma menatapnya cukup lama setelah panggilan pertama. Seolah meminta kepastian bagaimana nasibnya sore ini.

"Katanya nggak baik kalau nyetir dalam keadaan emosi. Boleh Gamma aja yang nyetir?" ujarnya semakin hati-hati. Sungguh keadaan ini sangat menjebaknya dalam kondisi yang dinamakan serba salah.

Alva menatap Gamma sedikit terkejut. "Bisa?" tanyanya seraya mengangkat kedua alisnya.

Gamma tersenyum manis. "Ini bukan waktunya bercanda, 'kan?"

Alva tersenyum hambar karena pengertian gadis di sebelahnya kemudian mengisyaratkan agar mereka bertukar tempat. Dengan cepat Gamma menyalakan mesin mobil dan melaju ke arah yang berlawanan.

"Kemana?" tanya Alva setelah menyadari bahwa mereka menempuh arah sebaliknya.

Gamma tersenyum lagi. "Aku nggak boleh membiarkan Kakak antar aku pulang dan kembali ke rumah Kakak dengan pikiran yang masih sekacau ini," jawabnya seolah tahu isi pikiran Alva.

Alva kembali bersandar ke kursinya seolah tak mau repot dengan tujuan Gamma. Baginya, yang terpenting saat ini ia harus melepaskan emosinya. Ia butuh Betha dan masih mencoba menghubungi gadis itu.

"Turun, Kak," ajak Gamma setelah mobil terparkir di sisi jalan entah sejak kapan.

Alva mengedarkan pandangannya. Tempat yang cukup asing, tapi dengan mudah dapat diidentifikasi karena namanya terpampang tepat di gapura yang mengawali jalan setapak ke dalam taman.

Gamma membukakan pintu untuk Alva untuk mempersingkat waktu. Alva pun turun tanpa harus diperintah kemudian mengikuti Gamma masuk ke dalam taman yang diketahui bernama Cattleya.

"Manusia itu nggak apa-apa kalau dalam kondisi nggak baik," ujar Gamma memecah keheningan setelah mereka berjalan beriringan menikmati oksigen di sana cukup lama. Alva menoleh menatap Gamma yang tampak tenang dan menikmati udara sejuk di taman sore itu.

"Gue tahu," jawab Alva. Bedanya nada bicara Alva tidak sedingin biasanya. "Tapi, manusia juga nggak boleh selamanya merasa nggak baik."

"Nggak mungkin manusia dalam keadaan nggak baik selamanya." Gamma mengutarakan pendapatnya.

ALVABETHWhere stories live. Discover now