[ 33 ]

38 21 9
                                    


Taksi melaju cepat di jalanan kota. Gue diam menahan amarah di kursi belakang, terhimpit di tengah oleh dua teman Lisa. Lisa sendiri duduk di depan-di sebelah supir taksi. Ponsel berdering beberapa kali tapi gue gak bisa berbuat apapun karena saat ini ponsel gue ada di tangan Lisa. Dia segera mematikan ponsel gue.

Saat ini gue hanya bisa berpasrah, tak ada celah untuk kabur. Beberapa kali gue mengambil dan membuang napas, menyiapkan mental untuk berpapasan dengan mama. Semoga tidak ada hal buruk terjadi.

Dengan jalanan kota yang ramai lancar, 15 menit kemudian gue tiba di rumah. Jantung gue berdegup kencang seperti ingin memasuki rumah hantu, menguji nyali di dalamnya. Sebelum Lisa membuka pintu, gue kembali menghela napas. Baik, mental baja telah aktif.

Masih dalam keadaan menyeret gue, Lisa berteriak, "Ma... nih Kak Zea!"

Rumah terlihat lengang, tidak ada sautan Mama. Lisa terus berteriak hingga Mama muncul dari bilik kamar gue. Mama hanya berjalan biasa sambil menunduk, tidak ada kemurkaan di wajahnya. Tapi ternyata itu belum. Sambil menarik benda besar yang tersangkut di daun pintu Mama melihat gue dengan wajahnya persis seperti pemeran ibu antagonis jahat. Benda yang ditarik Mama berhasil keluar dengan sempurna. Ada di sebelah kaki kanannya sekarang.

"Keluar kamu dari rumah!" Mama menendang kasar koper besar kearah gue. Lisa mengerutkan dahi tak percaya. Apalagi gue, baru aja sampe udah diusir.

"Mama udah masukin semua barang kamu di koper. Gak usah repot lagi masuk kamar, kamu bisa langsung pergi!"

"Mama kenapa sih? dari kemarin nyuruh Lisa cari Kak Zea, sekarang Lisa udah bawa dia malah disuruh pergi. Kalau ceritanya bakal kayak gini ngapain Lisa cape-cape nyari kesana-kesini buat cari Kak Zea?!" Lisa protes dengan tindakan Mama yang mengusir gue. Selain dia cape udah nyari kemana-mana, dia juga gak rela kalau pekerjaan rumah sepenuhnya jadi tanggung jawab Lisa. Tujuan terbesar dia nyari gue kan karena gak mau jadi babu di rumah dan kenal omel terus-terusan.

"Kamu protes sama keputusan Mama? Gak setuju?"

"Iyalah, Mama sama aja gak menghargai usaha aku!"

"Masuk kamu ke kamar!" bentak Mama.

"Gak ma..."

"MASUK! Jangan buat Mama marah!" Lisa masuk membanting pintu kamarnya. Cape hati juga dia kena bentak terus.

Hanya tersisa gue dan Mama sekarang. Gue masih menatap koper tak percaya. Ucapan Mama yang menyesal melahirkan gue tertancap lagi ke hati. Pengen banget nangis, gue gak berani liat muka Mama.

"Kenapa diem? Ayo pergi! Kamu lebih seneng kan tinggal diluaran sana yang gak jelas. Hampir satu bulan gak pulang, Mama liat kamu udah bisa hidup sendiri gak membutuhkan lagi keberadaan mama sama papa, kamu juga kayaknya gak peduli sama Lisa. Jadi buat apa kamu tetep di sini kalau cuma jadi beban, bikin mama sama papa jadi stress."

Beban? Baru kali ini Mama secara gamblang bilang gue jadi beban buat dia. Sesekali gue masih berpikir kalau omongan Mama di kamar waktu itu salah. Gak mungkin Mama sebenci itu sama gue tapi sekarang, hanya dengan kata "beban" keyakinan gue bertambah kalau Mama emang gak pernah mengharapkan kehadiran gue.

Untuk menambah keyakinan itu, gue memberanikan diri menatap Mama. Memastikannya secara langsung. "Jadi bener ya kata bu Mieke... Mama lebih sayang sama Lisa." Mama mengerutkan dahi bingung.

"Mama lebih sayang sama Lisa karena Lisa lebih nurut dan gak macem-macem. Gak kayak Zea yang suka kabur-kaburan, banyak ngeles, atau suka ngebantah. Ya... Zea emang sempurna kan jadi beban Mama? Saking terbebani Mama jadi cerita kesana-kesini tentang keburukan Zea, yang mungkin dengan itu beban Mama jadi ringan sesaat. Sebenernya bukan Zea yang gak membutuhkan keberadaan Mama, tapi Mama sendiri yang gak butuh Zea. Iyakan?"

I'll Be ThereWhere stories live. Discover now