tridasa

1.7K 430 94
                                    

"Hina mati karena ulah Touman."

Pria itu berujar seraya mengepalkan tangan. Menyalurkan emosi dengan membuat buku jarinya memutih.

Durja pucat pandangi pria yang dikunjung lara hati. Pernah Takemichi berkata bahwa Hinata menjalin hubungan saat keduanya masih remaja.

Namun belasan tahun bukan waktu yang singkat. Tidaklah aneh jika (Name) belum melupakan Shuji—sebab hubungan mereka sukar dipahami. Namun untuk kasus Takemichi, yang hanya menjalin hubungan hingga akhir masa SMP, mengapa sampai terpuruk seperti ini?

"Apa—"

"—apakah Hanma terlibat?"

Sambungan kalimat tak dapat dikeluarkan.

Labium dengan kulit kering yang terkelupas kini dibasahi lidah. Lantas dikulum dan menekan kuat-kuat keinginan bertanya.

Kemungkinan Shuji untuk terlibat dengan insiden kali ini sangatlah besar, mengingat bahwa pria itu adalah tangan kanan Kisaki Tetta.

Dengan nada sendu, ucapkan satu kata yang mana mengundang kembali tatapan mata.

"Maaf."

Sang adam lantas menghela pelan. Berharap tiap napas yang dihembuskan dapat membawa pergi beban yang menghantui angan.

Karantala sentuh permukaan kertas. Mengeluarkan benda tipis dari balik jaket. Kemudian, menyodorkannya pada sang wanita.

"Tidak apa-apa. Selain itu, aku sudah mendapatkan informasinya. Ini," ujarnya. Namun kemudian menatap bingung, sebab hening adalah yang menjawab. "(Name)-san, mengapa—"

"Tidak bisa," samar, gumaman tersebut menarik atensi. "Walau aku menerima dan membaca ini, kau harus segera membakarnya."

Ditatapnya ragu wanita tersebut. Takemichi mengangguk sesaat, mengiyakan tanpa banyak tanya. Mengundang senyum pada paras pucat.

"Baiklah," sahut (Name). Kemudian mengambil alih benda dari tangan Takemichi. Membaca tiap kata dari tinta hitam dengan saksama.

"Jika dilihat dari informasi yang aku dan Naoto dapatkan, Baji Keisuke meninggal dirumah sakit. Untuk operasi, lancar. Tapi setelah tiga hari tidak kunjung sadar ... " tatapan ragu dilayangkan pada sang wanita. Merasa bahwa (Name) tidak terganggu, Takemichi lantas melanjutkan. "Beliau mati sebab adanya cairan lain yang masuk ke dalam infusnya. Pelaku belum ditemukan. Dan cctv bahkan tidak menyala saat itu."

(Name) mengangkat pandangannya. Menatap serius pria yang kini agak gugup untuk melanjutkan.

"Dan Sano Emma ... "

Takemichi menundukkan kepala. Kembali mengepalkan tangan dengan rasa bersalah dalam hatinya.

Dia tidak memiliki keberanian bahkan hanya untuk menyebut nama tersebut.

(Name) paham. Ia mengukir senyum mendekat.

"Hanagaki, itu bukan salahmu."

Tersentak.

Pria itu mengangkat kepala. Menatap cemas ke dalam permata jingga yang dihuni nestapa. Dimana lara tak kunjung hilang, namun menetap. Tinggalkan duka yang setia ada dalam diri.

"Itu juga bukan salahmu," nada berubah menjadi sendu. Lantas sang adam tuntaskan larik menjadi sempurna. Biarkan satu kata yang keluar, mengundang kembali semangat yang telah hilang. "(Name)-san."

Kekehan meluncur dari labium sang adiratna.

"Benar. Ini bukan salah kita."

Tangan yang tadi terangkat guna sembunyikan tawa, kini perlahan turun.

Entah apakah ini adalah sebuah kesialan.

Sebab benda lain ikut terjatuh.

Dan tidak luput dari perhatian Takemichi.

"(Name)-san—"

Kening berkerut. Takemichi merasa tak asing dengan anting yang kini tergeletak di atas tanah. Anting emas panjang yang mengingatkannya akan sesuatu, dan pastinya bukanlah yang baik.

(Name) rasakan gugup tiba-tiba. Walau panik, berusaha menutupi dengan perlahan menunduk. Memungut kembali anting yang terjatuh.

"—anting itu tak asing."

Takemichi berujar. Mengundang perasaan campur aduk dalam dada sang wanita. Sebab (Name) tidak mengenakkan perhiasan sejak awal mereka bertemu di taman kemarin.

(Name) terkekeh. Menutupi jalan pandang dari atas dengan surai yang terayun turun. Sembunyikan senyum dibalik rengkuh kegelapan.

"Kau memang pernah melihatnya," wanita itu menjawab. Memberi jeda sesaat sementara genggaman pada anting dalam kepalan menguat. "Ini anting pasangan."

•••

Wajahnya selalu ada dikala kelopak menutup mata. Dalam angan meski telah menghindar, diri tidaklah bisa kabur dari jingga yang mengekang. Belenggu yang disebut cinta nyatanya hanya memberikan sakit. Kata bahagia hanyalah sebuah kedok semata, sebab derita adalah fakta yang menanti.

Tangan selalu terulur. Meski tahu hanyalah mimpi, Shuji terus tatapi fatamorgana sang laksmi. Berpikir dalam hati, apakah dia masih memiliki kesempatan?

Adiratna datang berkunjung pada setiap malam. Hancurkan mimpi indah dengan jeritan menyakitkan. Kadang dia tersenyum dengan durja yang menangis pilu. Mengirimkan gelombang rasa sakit yang meremat hati, membuat Shuji tidak dapat melakukan apapun selain bergeming.

Shuji kerap kali salah dalam menafsirkan kata cinta. Tidaklah jarang bagi sang adam untuk menganggap sama antara cinta, obsesi, serta sebuah hiburan.

Lantas kali ini ia bertanya, apakah perasaan asing yang melingkupi hatinya adalah salah satu dari ketiga opsi?

Sebab meski mencoba untuk lupa, wajah adiratna selalu menghantui kepala. Membuat Shuji diingatkan dengan janji pada masa lalu, yang mungkin kini telah terbakar mejadi abu.

"Kalau suatu hari nanti aku jatuh, kau akan membantuku bangkit atau pergi?"

Saat itu, Shuji terdiam sesaat. Masih diingatnya jelas paras yang menatap was-was. Kemudian, ia tersenyum. Menjawab pertanyaan yang keluar dari labium sang adiratna dengan larik yang dilengkapi ukiran kurva.

"Tentu saja aku akan membantumu."

Namun nyatanya, dia mengingkari janji itu.

Shuji tidak menepati kata-katanya.

Dia telah menutup mata dan berbalik. Tinggalkan satu insan yang mencintainya, serta meremukkan hati seolah itu mainan semata.

Namun ketika panah yang telah sang batara lepaskan menancap dihatinya, sebuah pertanyaan muncul dalam benak.

"Apakah aku masih memiliki kesempatan?"

Dan dihancurkan dengan kejam oleh iblis yang senantiasa berbisik.

"Kamu tidak memiliki kesempatan untuk itu. Kamu berdosa. Kamu sudah meninggalkan wanita itu disaat terburuk hidupnya."

Mata dipejamkan. Berharap wajah yang terbayang akan hilang.

"Kamu telah menghancurnya."

Durja semakin memucat tatkala sihir yang telah membuat hatinya semakin tenggelam dalam gelap terdengar.

Shuji menutup telinganya. Dengan harapan suara itu akan hilang.

"Kamu telah membuangnya."

Dengan frustasi, sang adam mengacak surainya. Lantas berdiri dan membenturkan kepala dengan kasar ke dinding. Membuat kaca mata yang dikenakan pecah, ciptakan goresan tatkala serpihannya menoreh luka.

"Dan apakah kamu berpikir kamu diizinkan untuk kembali padanya?"

Ini tidak seberapa.

Luka dari goresan ini sungguh tidak sebanding, dari segala derita yang dialami.

Baik penderitaannya.

Maupun penderitaan (Name).

•••

10 Agustus 2021

𝐂𝐀𝐍𝐃𝐀𝐋𝐀! hanmaWhere stories live. Discover now