tri vimsati

1.2K 348 166
                                    

Bagai duri dalam daging. Hubungan mereka tidak benar, juga tak menyangkut romansa. Hanya pernah adakala, perihal sayang pada keluarga. Manjiro bagai kakak, serta adiratna yang kecewa. Sebab yang dikira kawan, berubah menjadi lawan. Menghancur-leburkan dirinya. Menusukkan duri pada dagingnya. Merobek kelopak, serta mematahkan tangkai.

Nyenyat mendominasi, kala insan dalam ruang enggan membuka suara. Terdiam, terpaku. Akan sosok adiratna yang sedetik lalu melemparkan sebuah barang. Menimbulkan tetesan merah yang mengotori ubin lantai.

Haruchiyo membelalakkan matanya. Dia tak menyangka akan kejadian ini. Pula, terkejut sebab gagal menangkisnya.

"Apakah kau ingat dengan segala yang kau lakukan padaku, Manjiro?"

Lengan melambai pelan. Memberi isyarat bagi Haruchiyo untuk menyingkir. Membuka jalan bagi laksmi untuk mendekat. Berhadapan dengan taruna.

Tidak, (Name).

Terlalu banyak. Sungguh terlalu banyak durjana yang dilakukan taruna. Tak lagi dapat dihitung dengan jari. Rinai yang menari, bahkan enggan membawa dosanya untuk pergi.

Maka, apakah kamu rela memaafkan? Relakah kamu mengikhlaskan?

Pandangan berkabut. Jantung diremas, kala sadar bahwa semua yang terjadi hingga titik ini, berawal dari pria brengsek. Kisaki Tetta. Dia tidak salah, namun dijadikan kambing hitam.

Lantas, mengapa harus aku? Mengapa harus aku yang menderita? Direngut kehormatannya. Direngut keluarganya. Serta dikekang dengan belenggu rantai pada tiap bagian tubuh. Dicekik, serta rasakan perlahan ludira yang berhenti mengalir.

Bahkan, banyak orang tak berdosa yang ikut diambil nyawanya.

Tangan yang tremor terangkat perlahan. Di hadapan dada, dengan kapala yang sedikit menengadah, adiratna berkata dengan suara yang bergetar.

"Aku masih merasakannya, Manjiro."

Insan dalam ruang mengerutkan kening. Taksa yang keluar dari celah bibir tak mudah dipahami. Terlalu memiliki banyak arti.

Lantas, setelahnya laksmi kembali berujar. Dengan kurva tipis, serta durja yang menangis.

Membawa kembali ingat kenangan, yang terkubur dalam ruang. Hilang serta pudar bersama waktu yang berjalan. Membusuk. Namun nyatanya masih di sana, bersembunyi pada bagian paling ujung memori.

"Sensasi itu. Ketika tubuh penuh darah milik ibu aku peluk begitu erat. Aku sampirkan jaketku dan aku elus perlahan. Namun tubuhnya tak kunjung hangat, melainkan napasnya berhenti," kontras. Tangisannya menggila. Dadanya bergemuruh dengan duka merajalela. "Keisuke. Aku begitu bodoh. Begitu naif dan tak mendengarkan perkataannya."

Manjiro rasakan sembilu mengirisnya. Secara perlahan, menyiksanya dengan sosok tanpa rupa. Dia tak sanggup mendengarkannya.

Durjana tak terhitung, dosa tak termaafkan.

"Aku belum sempat berkata maaf padanya."

Manjiro melangkah maju. Mendekat, namun enggan mengikis jarak. Melainkan ke arah berlawanan, setelahnya kembali melambaikan tangan. Berikan isyarat bagi insan lain untuk pergi.

Shuji menyeret Kisaki Tetta. Dengan begitu kasar serta wajah malas. Tak rela pujaan ditinggalkan berduaan. Namun paham, bila mereka memang butuh waktu serta ruang untuk bicara. Berbanding terbalik dengan Haruchiyo, yang kini berdecih sebelum akhirnya melangkah pergi.

Hening merayap. Sementara air berisi lara perlahan menjatuhi lantai.

Manjiro perlahan membuka bibirnya. Namun kembali mengatup. Lidahnya kelu.

𝐂𝐀𝐍𝐃𝐀𝐋𝐀! hanmaDonde viven las historias. Descúbrelo ahora