navadasa

1.4K 395 144
                                    

2006

Abu hancurkan biru

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.

Abu hancurkan biru. Mentari sembunyikan diri, enggan bertatap muka dengan laksmi, ia memilih pergi. Tinggalkan awan yang bergumpal layaknya kapas, pertanda bahwasanya langit kini hendak menangis. Menumpahkan cairannya ke bumi. Tidak hilang, melainkan tanah yang menelan.

Payoda abu, serta lara dalam kalbu.

Burung yang bertengger di dahan pohon, kini putuskan benang tatap. Terbang tak tentu arah—tinggalkan jejak kicauan, kemudian bersembunyi. Hindari tempat yang mana akan terkena tangis.

Lantas laksmi yang kini melangkahkan kaki, berhenti. Tatkala sadar bahwa di seberang sana, netranya menangkap dua insan. Ketika salah satunya melambaikan tangan dan menjauh, puan di sana masih tersenyum. Tidak asing, namun ia enggan membuka suara.

"Padahal aku mau ketemu Kakak ... tapi kalau harus berpapasan dengan mereka," ragu melingkupi relung hati. "Baiknya aku pergi saja."

Daksa hendak berbalik. Namun sayang, anak mentari telah lebih dulu menyadari eksistensinya. Memanggil nama, kemudian mendekat. Tak peduli dengan masa lalu, bahkan wajahnya terukir senyum.

"(Name)-chan!"

Dengan ragu, sang punya nama berbalik.

Mengulas senyum canggung, lantas menjawab.

"Oh, hai Emma—"

Surai pirang yang menari liar kini terbanting dengan begitu kencang. Menubruk tanah, bersamaan dengan seseorang yang kini melemparkannya sebuah tongkat.

Netra membulat. Tanpa berpikir dua kali ia mendekat. Menyentuh wajah yang terhalang surai, namun tanpa sadar ia berteriak, mengeluarkan jeritan takut tatkala sadar—

—tangannya penuh dengan noda darah.

•••

"Saat itu ... apa kau membunuhnya seperti ini?"

Tongkat bisbol dengan begitu kencang menganyun, lantas setelahnya menjadi penyebab bagi raga yang terbaring di tengah kolam. Bersamaan dengan kelopak yang masih terbuka, tangisannya merajalela. Mengundang iba.

Bahkan ketika merah menodai ubin lantai, tetesan cairan bening tak kunjung berhenti. Bahkan menyatu, bersamaan dengan sinar yang meredup.

Manjiro membunuhnya.

Manjiro membunuh ibunya.

"BERAPA KALI HARUS KUBILANG BUKAN AKU YANG MEMBUNUHNYA?!"

Adiratna menjerit histeris. Tidak terima dengan takdir yang Tuhan berikan padanya.

Awal lahir, dia hanyalah ibaratkan sebuah kertas putih. Suci, bersih. Namun sejak kapan ada hitam yang menodai? Apa yang menjadikannya salah?

Dia tidak terima.

Ibunya tidak melakukan kesalahan barang sekecil apapun pada Manjiro. Bahkan dia adalah ibu dari mendiang sahabat. Sungguh, Manjiro benar-benar kelewat kejam hingga membunuh ibu sang puan.

"Setelah bukti yang ada?"

Dengusan sebal terdengar.

"Tidak, (Name)."

Jingga bertubrukan dengan jelaga. Tubuh yang memberontak tak kuasa lepas dari belenggu—kuat. Mereka terlalu kuat baginya yang hanya seorang perempuan. Tenaga jelas kalah.

"Itu palsu!"

"Kau masih mau berbohong?"

"Brengsek! Aku membencimu, Manjiro. Aku sungguh membencimu. Setiap malam, aku akan berdoa untuk kematianmu. Aku akan berdoa untuk segala penderitaanmu. Kamu akan membayarnya, Manjiro. Aku bersumpah," merah merambati putih. Memberi kesan ngeri tatkala jingganya berkilat basah. "Dan kamu akan membayarnya ribuan kali lipat."

Manjiro tersenyum tipis.

"Begitu pula kamu, (Name)."

Lantas laksmi kini pandangi sang adam. Bertanya, apakah dosanya hingga harus memberikan hukuman sebegini berat?

"Kamu mengkhianatiku. Kamu membunuh adikku. Lantas kali ini, apakah kamu mau membohongiku?"

Buta.

Sano Manjiro telah dibutakan oleh kegelapan. Dirinya yang kerap tersenyum seolah tidak ada beban, kini tenggelam dalam rawa. Tak menemukan jalan pulang, melainkan tersesat. Manjiro yang dikenalnya telah lama hilang. Tinggalkan iblis yang menjelma sebagai manusia.

Menoreh luka, menyiksa batin. Hapuskan tiap keinginan untuk bercanda serta tawa. Hanya kegilaan yang merasuk—membunuh tiap inci semangat hidup.

(Name) jatuh.

Lututnya membentur lantai. Surai hitam halangi pandang sementara tubuh bergetar hebat. Luka. Siksa. Segala menghancurkannya secara perlahan. Baik jiwa maupun raga, telah ditoreh luka hingga menjadikannya tiada.

Anting emas panjangnya terayun perlahan. Bergerak turun mengikuti gravitasi tatkala kepala ditundukkan.

Manjiro melangkah pergi—diikuti beberapa orang. Meninggalkan adiratna bersama dengan raga tanpa jiwa. Namun sesungguhnya ia tak sendiri—Sanzu Haruchiyo ada di sana. Berdiri di belakang tanpa mengeluarkan kata.

(Name) merangkak dengan perlahan. Mendekat ke arah ibunya. Tidak peduli dengan rasa sakit di sekujur tubuh. Tak peduli dengan tetesan merah yang ikut terseret. Meninggalkan jejak, serta menanam teror.

Lantas dengan gemetar, merengkuh daksa yang seharusnya ia jaga. Kemudian, ia beralih membuka jaketnya. Menyampirkan pada bahu sang ibu, kemudian mengelusnya beberapa kali.

Berbisik.

Ia berbisik. Begitu kecil hingga hampir tak terdengar.

"Ibu ... apa Ibu mengantuk?"

Terus. Terus berbisik. Seolah tengah menyanyikan lagu pengantar tidur dan bertanya pelan apakah ia telah masuk ke dalam alam mimpi.

"Benar. Jika Ibu mengantuk ... tidur. Ibu hanya butuh tidur ... "

Haruchiyo yang kala itu bersandar pada dinding menatap bingung. Tak mengerti dengan gadis yang mendadak gila. Namun bukankah wajar apabila (Name) gila disaat begini? Ibunya mati, di hadapan dia sendiri. Mati, dalam pelukannya.

Memeluk raga yang mendingin sementara laksmi tak dapat berbuat apapun. Bukankah itu adalah siksa yang paling mengerikan?

"Hei Baji. Kau kenapa?"

Menaikkan alis, lantas bertanya.

Namun kemudian ia dibuat merinding. Tatkala jingga sang laksmi bersirobok dengan miliknya. Ciptakan perpaduan kontras antara kegilaan dengan kesedihan. Air tak kunjung berhenti mengaliri pipi, sementara senyum terukir—pada adiratna, yang kini semakin mengeratkan rengkuh.

"Sanzu-san, bagaimana ini?"

Menyedihkan.

Ini terlalu menyedihkan.

"... tubuh Ibu begitu dingin. Padahal aku sudah memakaikannya jaketku."

"Dia—"

"Dingin. Tubuhnya dingin. Seperti tubuh Keisuke kala itu."

Kisah ini terlalu menyedihkan.

•••

17 Agustus 2021

𝐂𝐀𝐍𝐃𝐀𝐋𝐀! hanmaDonde viven las historias. Descúbrelo ahora