{4} Menolak Ingat

93 20 13
                                    

Memori penuh luka tak akan mudah hilang. Dia hanya bersembunyi di dasar hati, tertimbun kesibukan. Ada kalanya terabaikan, ada kalanya muncul tanpa permisi.

~~~

"Terus, respons Chandra gimana?" tanya Lea tertarik. Ia sedang mendengarkan cerita Maya tentang kejadian kemarin, keduanya sedang tiduran di tempat tidur Lea. Menuruti saran Chandra, Maya tidak masuk kerja hari ini, kepalanya masih agak pusing karena dirinya terus menangis hingga tengah malam. Sedangkan Lea, dia mendapat jatah libur mingguannya hari ini, jadi tak perlu terburu-buru bersiap untuk berangkat ke tempat kerja. Kebetulan yang sangat pas, karena sejak Maya juga bekerja, mereka lebih sulit mengobrol santai seperti kemarin-kemarin.

"Mas Chandra nggak komentar banyak, dia cuma nenangin aku dan malah nggak ngomong sama sekali selama perjalanan," jawab Maya, menceritakan bagaimana sikap Chandra kemarin yang—lagi-lagi—membuatnya kagum. Lelaki itu tak bertanya lebih dan membiarkan Maya menenangkan diri selama perjalanan.

"Dia nggak tanya kamu kenapa, gitu?"

Maya menggeleng. "Tanya, sih, sekali doang, tapi aku nggak jawab. Mungkin dia pikir aku nggak mau cerita, jadi dia nggak tanya apa-apa lagi."

"Bos kamu nyaman ya orangnya? Nggak kepoan, menghargai privasi orang lain pula."

"Emang. Nggak mau membatasi diri dengan karyawan juga. Friendly banget pokoknya."

"Kamu nggak ada indikasi naksir sama orang yang begitu?"

"Mas Chandra itu tipe pria idaman banget, Mbak. Tapi, mana berani aku naksir? Cowok jenis dia pasti udah ada yang punya."

"Yakin? Emang kamu udah tanya ke orangnya? Siapa tahu masih jomblo?"

Maya tak menggubris pertanyaan Lea. Ia bangun dari posisinya untuk mengambil ponsel yang tadi ia taruh di meja rias Lea. "Ih, dasar! Pantesan dia ngilang," gerutu Maya tiba-tiba. Atensinya beralih ke ponselnya, melupakan pembahasan tentang Chandra.

Lea menatapnya ingin tahu. "Kenapa, May?"

"Mbak, masih ingat cowok yang aku ceritain waktu itu? Teman SMA yang deketin aku baru-baru ini." Maya menunjukkan layar ponselnya pada Lea. Foto sepasang sejoli berlatar dekorasi pelaminan terpampang jelas memenuhi layar dan penglihatan Lea. Lea tidak bodoh untuk tidak menyadari bahwa itu foto pernikahan, karena selain latarnya sebagai petunjuk, objek foto tersebut juga mengenakan baju pengantin.

"Bukannya beberapa waktu lalu dia masih chattingan sama kamu?"

"Udah sebulanan ini orangnya tiba-tiba ngilang. Aku, sih, nggak masalah, tapi kaget juga pas udah begini, kan? Nggak pamit, sekali muncul yang dipampang foto nikahan."

"Duh, kasihan. Padahal udah ngarep, eh, malah kena ghosting," Lea terbahak, senang sekali dia melihat raut wajah Maya yang semakin ditekuk karena kesal.

"Aku nggak ngarep, biasa aja," Maya membela diri.

"Gini loh, May," lanjut Lea dengan sisa-sisa tawa yang masih bertahan meski sudah susah payah ia usir. Lea mengubah posisi, duduk bersila menghadap Maya, ekspresinya tiba-tiba berubah serius. "Kamu jangan gampang percaya sama laki-laki yang pakai modus 'mau kenal lebih dekat, siapa tahu kita jodoh?'. Yah, namanya juga orang cari jodoh, yang dituju nggak bakal cuma satu. Kamu adalah satu dari beberapa orang yang mereka jadikan target, kalau cocok lolos seleksi, nggak cocok, eliminasi."

Maya mendesah, "Yah ... nggak apa-apa dieliminasi, tapi setidaknya pamit dulu baik-baik kalau mau pergi. Orang bertamu tuh harus ada sopan santunnya, kan, Mbak? Masuk pakai permisi, pulang juga permisi. Nggak tiba-tiba nyelonong terus nggak balik-balik."

DILEMAYA [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang