16. Dia Aksara

2.3K 284 7
                                    

Angkasa mengigil, seiring dengan tetesan air hujan yang terus menerpa tubuhnya. Tubuhnya ia dekap dengan begitu erat, berusaha menghalau rasa dingin yang menusuk.

Angkasa bisa saja kembali, tapi rasanya semua hanya akan berakhir sia - sia. Lagipula ia juga tidak punya alasan untuk kembali, karena pada nyatanya rasa kecewanya bahkan jauh lebih besar daripada rasa ingin pulangnya.

Angkasa menunduk, netranya terlihat menatap sendu kearah permukaan. Ingatannya kembali berputar tepat pada kejadian beberapa jam yang lalu. Bekas tamparan Samudra bahkan masih terasa kebas dipipinya. Angkasa kembali menitikkan air matanya, dan kali ini? Untuk yang pertamakalinya Angkasa sangat berterimakasih pada hujan. Karena jika bukan karenanya— mungkin semua sandiwaranya telah berakhir saat ini juga.

Angkasa terpejam untuk waktu yang cukup lama, sebelum akhirnya sebuah tangan sukses membuat Angkasa mengalihkan atensinya. "Lo gila? Lo ngapain hujan - hujanan disini bangs*t"

Sosok tersebut terlihat menatap tajam kearah Angkasa, ia bahkan tidak mengerti lagi dengan jalan pikiran Angkasa. Karena bisa - bisanya ia membiarkan tubuhnya diguyuri air hujan hingga basah kuyub.

Sosok tersebut berdecak kesal sebelum akhirnya menarik pelan tubuh Angkasa kedalam pelukannya. Sedangkan Angkasa? Bukannya menolak, sosoknya justru menyambut hangat pelukan sosok tersebut. Karena pada dasarnya, saat ini ia benar - benar kedinginan.

"Aksara?"  Ujar Angkasa disela - sela kesadarannya.

Aksara? Iya Aksara Pradipta, laki - laki yang tidak lain adalah sahabat sekaligus kakak bagi Angkasa. Hubungan mereka bahkan bisa dibilang cukup dekat, mengingat jika mereka di pertemukan di jalan cerita yang hampir sama.

"Seharusnya gue yang nanya sama lo. Lo ngapain disini? Dan ini? Lo ngapain hujan - hujanan Angkasa?" Jujur, rasanya Aksara benar - benar kesal dengan ulah sahabatnya ini.

Angkasa tersenyum, "Sar, kalau lo disini cuma buat marahin gue doang. Mending lo pulang, lo ga bantu gue sama sekali"

Aksara memutar bola matanya malas, tapi jauh dilubuk hatinya— saat ini sosoknya benar - benar mengkhawatirkan Angkasa.

"Kita pulang ya? Gue anter"

"Engga, Sar"

"Kenapa? Berantem sama Samudra? Oh ayolah, Sa. Lo bukan bocah lagi, jadi gausah kabur - kaburan apalagi sampe nyiksa diri kaya gini. Liatt, muka lo udah pucet banget. Kalau lo sakit, bukan cuma Samudra yang lo buat repot. Tapi gue sama Prince juga" ujar Aksara yang sukses membuat Angkasa memutar bola matanya malas. Tapi jujur, setidaknya dengan kedatangan Aksara— sosok itu mampu meringankan sedikit beban di hatinya.

"Kita pulang ya?" Aksara mengulang kembali kalimatnya. "Gue anter"

"Pulang kerumah lo aja ya?"

"Engga"

"Gue lagi gamau pulang, Sar"

"Gue bukannya gamau bantu lo, gue bukannya ga ngerti isi hati lo. Tapi kabur kaya gini juga bukan jalan yang bener, Sa. Lo pulang, selesaiin masalah lo. Gue anterinn"

"Tap—"

"Gue ga nerima penolakan"

"Tap—"

"Saa, pleasee!"

"Okay gue pulang"

"Gue anter"

"Gue bawa motor"

"Motor lo tinggal disini aja, gue bawa mobil"

"Tapi gue masih bisa bawa motor"

"Hujan Sa!"

"Okay gue ngikut lo"

"Motor lo aman, tar gue minta tolong Mang Udin buat urus"

Angkasa mengangguk sebelum akhirnya memilih mengikuti langkah Aksara. "Mau langsung pulang atau makan dulu?"

"Gue langsung pulang aja"

"Lo udah makan?"

Angkasa mengangguk pelan sebagai jawaban, tapi tidak dengan Aksara. Laki - laki itu justru memicingkan matanya kearah Angkasa. "Lo ga lagi nyoba buat bohongin gue kan?"

"Engga yaampun"

"Awas aja kalau sampai bohong. Inget, lo itu punya maag. Telat dikit aja udah bisa buat lo ngamar di rumah sakit, apalag—"

"Bacot Sar, bacottttt. Buruan pulang, kalau lo lupa gue udah kedinginan dari tadi" potong Angkasa cepat. Sedangkan Aksara? Laki - laki itu hanya bisa memutar bola matanya malas.

"Lah yang nyuruh lo hujan - hujanan siapa bambang?"

"Tolong ya, gausah buat gue kesel dulu"

"Terserah deh" balas Aksara  seraya memutar bola matanya malas.

Angkasa terkekeh sebelum akhirnya memilih membawa langkahnya memasuki mobil Aksara. Cuaca malam ini masih sama dengan sebelumnya, hujan bahkan masih turun dengan begitu derasnya. Sayup - sayup terdengar suara petir, namun tidak sekeras biasanya.

Angkasa menghela nafas pelan, netranya ia alihkan kearah jendela mobilnya. Menatapi titik demi titik air hujan yang menetes melalu kaca jendela. Pikirannya melayang jauh, entah kenapa hatinya kembali terasa sakit. Apalagi jika dipaksa untuk mengingat apa yang baru saja Samudra lakukan.

Butuh waktu sekitar tiga puluh menit lamanya bagi mereka sampai di rumah Angkasa. Keduanya sempat terdiam, sebelum akhirnya Aksara memilih membuka suara terlebih dahulu.

"Mau gue anter kedalem?" Tanya Aksara yang langsung dijawab gelengan pelan oleh Angkasa. "Gapapa, gue sendiri aja"

"Lo yakin? Tapi kalau Samudra ngapa - ngapain lo lagi gimana?"

"First nya udah tadi, kalaupun lagi— gue udah ga kaget lagi"

"Tap—"

"I am fine, Sar. Bukannya tadi lo yang nyuruh gue pulang? Tapi sekarang kenapa lo jadi panikan gini sih?"

"Pulang kerumah gue aja deh? Tiba - tiba gue takut ngasih lo berduaan sama Samudra dirumah"

"Ralat, bertiga"

"Setan gak usah di anggep!"

"Anjirrr"

"Pulang kerumah gue aja ya?" Tanya Aksara lagi. Angkasa menggeleng pelan sebelum akhirnya tersenyum tipis.

"Gapapa, gue pulang aja"

"Tap—"

"Sarrrr!"

"Okay deh, tapi kalau ada apa - apa jangan lupa kabarin gue ya"

"Berhaeap banget dikasih kabar"

"Gue serius anjing!"

"Candaa elah, gausah ngegas"

"Habis lo"

Angkasa tertawa sebelum akhirnya membawa langkahnya keluar dari mobil. Sedangkan Aksara? Laki - laki tersebut terlihat melambaikn tangannya kearah Angkasa sebelum benar - benar pergi meninggalkan rumah Angkasa.

TBC

SEMESTAWo Geschichten leben. Entdecke jetzt