28. Apa iya?

1.7K 261 9
                                    

"Mang, beli mie ayam nya satu"

"Jangan pake mie sama ayam ya, soalnya saya alergi telur sama daging" lanjut Angkasa yang sukses membuat sosok di depannya mengernyit bingung. Tapi meskipun begitu, sosok yang baru saja Angkasa panggil 'mang itu langsung saja membuat mie ayam sesuai pesanan Angkasa.

Tidak lama, hanya butuh waktu lima menit. Karena sekarang? Pesanan Angkasa telah datang.

"Lah ini kok cuma dikasih kuah doang? Kan saya mesennya mie ayam"

"Katanya ga pake mie sama ayam"

"Ya seenggaknya isiin sayur, kecap saos sama seledri lah mang"

"Maap dulu nih, kalau itu mah namanya bukan mi ayam, tapi sayurrr kuah"

"Gapapa, suka suka saya. Daripada ini? Namanya apa dong? Air panas?"

"Ya suka suka saya juga dong" balas sosok tersebut yang sukses membuat Angkasa mempoutkan bibirnya lucu.

Untung langganan, coba kalau engga. Mana berani Angkasa ^-^

Sosok tersebut tertawa sebelum akhirnya menyerahkan mie ayam yang baru untuk Angkasa. Angkasa tersenyum, sudah terlalu hapal dengan candaan sosok di depannya.

"Nah gini dong mang"

"Makan yang banyak, biar cepet gede"

"Asal gratis sih gapapa"

Sosok tersebut terkekeh pelan sebelum akhirnya meletakkan nampannya pada meja, "Tumben sendiri, Samudra mana?"

"Ohhh Samudra, biasa anak pinter. Lagi sibuk ngurusin olimpiade" balas Angkasa lengkap dengan senyum tipisnya. Setidaknya bersikap seolah tidak ada apa - apa.

"Emang beda ya kalau di bandingin sama beban orang tua"

Angkasa mendelik tak terima sebelum akhirnya tertawa pelan, "ilihhh bicittt"

Inilah Angkasa. Semua ia lalui dengan senyuman, seperti sebuah topeng. Ia bahkan terlalu pintar menyembunyikan semuanya.

Luka, sakit, serta perih yang ia rasakan berusaha ia simpan seorang diri. Angkasa itu pintar bersandiwara, selalu menggunakan tawa untuk menyembunyikan rasa sakitnya. Karena prinsipnya, selama ia mampu— ia tidak akan melibatkan orang lain dalam masalahnya.

Itulah Angkasa, sosok yang terlihat kuat dari luar namun pada kenyataannya sangat rapuh. Sosok yang selalu memikirkan orang lain, namun tak pernah di hiraukan sama sekali.

Dan untungnya, Angkasa tidak pernah mempermasalahkan hal tersebut. Semua ia jalani layaknya air mengalir, mengikuti arus dan tidak pernah berniat untuk mengeluh.

Karena Angkasa yakin, semesta punya jalannya sendiri untuk bahagia.

***

Saat ini Angkasa telah sampai di sekolah setelah mampir sebentar di langganan mie ayamnya. Angkasa memarkirkan motornya sebelum akhirnya membawa langkahnya menuju kelas.

"Enak ya, setelah bolos jam pertama sekarang berani - beraninya masuk. Ga takut di hukum lo?" Ujar seseorang yang sukses membuat Angkasa terkekeh pelan.

"Ya apa bedanya sekarang sama besok? Toh kalau gue datengnya besok, sama aja bakal di hukum kan?" Balas Angkasa lengkap dengan kekehannya.

Sosok tersebut berdecak kesal, "Lagian lo ngapain bolos lagi sih? Katanya doang mau tobat, tapi? Cuma wacana forever"

Lagi, untuk yang kesekian kalinya Angkasa kembali terkekeh. "Lu tau gue gasuka matematika, jadi mau segede apapun niat gue buat tobat, kalau udah matematika— maap dulu. Gue nyerah"

"Setan lo emang"

Angkasa tertawa sebelum akhirnya memilih merangkul bahu sahabatnya itu, "Rio mana? Tumben lo sendiri, biasanya juga sepaket"

"Dikamar mandi, biasa habis makan malah nabung"

"Ohhh"

"Lo udah makan?"

"Menurut lo?"

"Kalau lo belum makan, yakali lo bisa ketawa gajelas kaya gini"

"Itu lo tauuu"

Arsen memutar bola matanya malas, mengabaikan jika saat ini Angkasa hanya bisa tertawa pelan. "Gue mau ke rooftop bentar"

"Anjing, lo mau bolos lagi?"

"Mulutnya tolong, lagian siapa yang mau bolos lagi sih?"

"Kalau bukan mau bolos lo mau ngapain ke rooftop"

"Ini masih jam istirahat kan? Jadi ga ada sejarahnya gue bolos pas jam istirahat bego"

"Ohhhh"

"Susah emang kalau ngomong sama babii" ujar Angkasa sebelum akhirnya membawa langkahnya pergi dari sana. Meninggalkan Arsen yang saat ini hanya bisa mempoutkan bibirnya kesal.

Kalau saja dia bukan Angkasa, sudah Arsen sumpahi di makan genderuwoo.

"Awas aja lo, Sa" teriak Arsen yang hanya dihadiai lambaian tangan oleh Angkasa. Karena sekarang? Laki - laki tersebut terlihat membawa langkahnya menuju rooftop.

Hal pertama yang ia lihat setelah sampai di rooftop adalah angkasa. Entah kenapa Angkasa akan merasa lebih dekat dengan semesta jika sedang berada di tempat ini.

Angkasa menghela nafas pelan, netranya sibuk mencari tempat sebelum akhirnya berakhir pada sebuah bangku panjang. Angkasa membawa langkahnya mendekat seraya merebahkan tubuhnya pada bangku tersebut.

Namun baru saja ia ingin meletakkan kepalanya, tiba - tiba seseorang terlihat menghentikan aksinya. Angkasa kaget, lebih tepatnya ketika orang tersebut justru menjadikan pahanya sebagai bantal untuk Angkasa.

"Samudra?"

"Gue tau kalau lo pasti bakal kesini" ujar Samudra yang sukses membuat Angkasa ingin beranjak dari tidurnya, namun urung karena pergerakannya justru ditahan oleh Samudra.

Samudra mengusap lembut surai adiknya, netranya bahkan terlihat sendu "Gue tau lo marah sama gue"

Angkasa terkekeh sinis, "Gue lagi ga pengen bahas itu"

"Tapi gue gamau lo marah sama gue, Sa"

"Gue ga marah"

"Tapi sikap lo justru nunjukin kalau lo lagi marah sama gue, Sa"

Angkasa tersenyum miris, "Banyak yang bilang, seseoarng baru terasa lebih berharga saat dia telah pergi—"

Angkasa terlihat menggantung kalimatnya, sedangkan Samudra? Entah kenapa perasaannya mulai gelisah "Sam seandainya gue pergi, apa gue bisa berharga dimata lo?"

"Lo ngomong apa sih? Lo bahkan selalu berharga dimata gue, Sa!"

"Sebelum lo yang ninggalin gue, apa boleh gue yang pergi duluan?"

"Sa please"

Angkasa terkekeh pelan, tapi terlihat jelas jika sosok tersebut berusaha mati - matian menahan air matanya agar tidak jatuh. "Gausah serius - serius gitu, gue cuma becanda"

"Tap—"

TBC

SEMESTAWhere stories live. Discover now