42. Rumah baru

1.6K 129 26
                                    

-o0o-
H A P P Y
R E A D I N G
-o0o-

Raihan membukakan pintu mobilnya untuk Alfi, mereka sudah berada di depan sebuah rumah berlantai dua yang tidak terlalu besar namun tidak terlalu kecil. Rumah itu berada di kawasan perumahan elit daerah Semarang kota, berjarak lima belas menit dari pesantren Nurul Huda. Sengaja Raihan mengajak Alfi untuk pindah ke perumahan, selain ingin hidup mandiri, ia juga ingin memberikan suasana baru untuk Alfi.

"Mas, apa ini gak berlebihan?"

Raihan mengerutkan keningnya. "Berlebihan gimana?"

"Kita cuma berdua, loh? Ini rumahnya besar banget."

Raihan terkekeh, ia merangkul pundak istirnya mesra. "Kan ada anak-anak kita nanti, Fi."

Aish, Alfi hampir lupa mengenai pembahasan soal anak. Bahkan mungkin saja, selama ini Alfi belum memikirkan itu. Menikah dengan Raihan saja dulu sangat mustahil, tapi lihatlah, kuasa Allah sungguh luar biasa. Alfi sangat bersyukur memiliki keluarga yang harmonis seperti sekarang.

"Ayo masuk." Raihan menuntun Alfi memasuki rumah.

Sesampainya di ruang tamu, Alfi dibuat melongo melihat rumahnya yang terbilang mewah ini. Raihan mulai menuntun Alfi untuk berkeliling, dan benar saja, rumah ini begitu besar jika hanya dihuni dua human saja. Ruang tamu dengan satu set sofa yang berukuran sedang, ruang keluarga lengkap dengan tv dan sofa kecil, dua kamar mandi di lantai satu, dua kamar tamu, dapur lengkap dengan peralatannya dan taman di belakang rumah. Ini baru lantai satu, belum lantai dua, Alfi menggeleng pelan, dasar suaminya itu!

"Gimana? kamu suka?" Tanya Raihan sambil mendudukkan dirinya di sofa ruang keluarga. 

Alfi sebenarnya ingin protes pada Raihan, namun ia urungkan takut Raihan tersinggung. Jadilah ia hanya mengangguk dengan senyuman terpaksa. "Suka."

Raihan mendekat, duduk di samping Alfi. Laki-laki itu meraih tangan kanan Alfi lalu menggenggamnya erat. "Kalau kamu gak nyaman bilang aja, jangan ditahan. Kita bisa cari rumah yang lain, yang cocok sama kriteria kamu."

Alfi menghela napas panjang. "Rumah ini terlalu besar, nanti aku bakal keteteran buat ngurusnya."

"Nanti 'kan bisa sewa asisten Rumah tangga. Kamu tenang aja, aku gak akan buat kamu capek."

"Aku nggak mau pakai jasa asisten Rumah tangga."

Raihan memijit pelipisnya bingung. "Terus mau kamu gimana? Hm?"

"Gak tau," cicit Alfi sambil merengut.

"Bilang aja, aku bakal cari yang lain kalau kamu nggak nyaman." Raihan membawa kepala Alfi bersandar pada dada bidangnya, lalu mengelus kepala gadis itu lembut.

"Aku pengen di pesantren."

Raihan mengehentikan aktivitasnya, ia diam di tempat dan enggan untuk menanggapi ucapan Alfi.

"Mas, kamu denger, 'kan? Aku pengennya tinggal sama Abah."

Merasa tidak ada jawaban dari suaminya, Alfi lantas mendongakkan kepalanya. Wajah Raihan yang dingin menjadi pemandangan pertama yang Alfi lihat. Sorot mata yang awalnya hangat saat ini berubah dingin. Tidak ada senyuman Raihan, hanya ada wajah flat laki-laki itu. Jujur saja, Alfi takut melihat Raihan yang seperti ini.

"Saya mau mandi," pamit Raihan mencolos begitu saja tanpa melirik Alfi.

Alfi merutuki dirinya, apa tadi dia salah bicara? Tapi bagian mana? Tanpa berpikir panjang, ia segera menyusul suaminya yang sudah ada di kamar mereka.

Dokter Kampret ✓Where stories live. Discover now