part 28

492 99 1
                                    

Aku kembali ke awal lagi. Saat ini aku menatap bayanganku di jendela kaca besar di ruang tamu apartemenku.
Memperhatikan detail kecil yang muncul di balik kaca. Bangunan tinggi menjulang berderet-deret angkuh. Bis dan mobil yang berlalu lalang di jalan. Awan kecil bergerak cepat melintas langit.

Liburan singkat ku sudah selesai dan aku kembali ke kenyataan. Dunia tidak selalu seindah dongeng. Bahkan kalau Tuhan mau, ia bisa membalikkan hidupmu jungkir balik dalam waktu sekejap.

Sebelumnya aku belum pernah berpikir sejauh ini. Berpikir filosofis tentang hidup. Untuk apa kita hidup? Untuk siapa dan kenapa? Dan bagaimana kehidupan setelah kematian? Apa kematian lebih baik daripada hidup. Apa saat kita mati, kita tidak lagi merasakan emosi lagi? Atau justru ada kehidupan lain yang lebih rumit? Sekarang aku takut hidup juga takut mati. Aku takut pada apa yang akan terjadi selanjutnya yang aku nggak pernah tau dan tidak tertebak.

Aku menghela nafas panjang, perasaanku tidak enak. Sampai rasanya mual. Overthinking. Setiap detik perasaan tidak enak ku memuncak, aku langsung memaksakan diri tersenyum. Itu saran Ringgo, memaksa tersenyum walaupun jadinya menyeringai seram.  Membuat otot-otot wajah ku yang kaku kebanyakan cemberut jadi bergerak. Menipu otakku untuk berpikir aku baik-baik saja.

Aku bisa tetap baik-baik saja. Aku masih bisa melakukan segalanya. Dan kalau dipikir-pikir lebih tepatnya sekarang aku super bebas. Seperti anak kucing di lepas dari kandangnya. Tidak ada lagi sosok orangtua dirumah. Aku bisa saja pesta semalam suntuk, mabuk-mabukan seperti remaja gila.

Jujur aku sudah membayangkan berbagai hal ngaco yang bisa kulakukan. Sayangnya, alam bawah sadar otakku terdidik untuk bertanggung jawab dengan pendidikan dan hidupku. Sayang sekali. Padahal kayaknya asik juga kalau orangtuaku tau aku mogok sekolah.

Sekarang mataku teralih ke kartu kredit unlimited di atas meja, beserta segepok uang dan kartu ATM. Aku melipat lenganku di depan dada. Separuh hatiku ingin membuang itu semua. Tapi separuh hati ku yang waras sadar bahwa menghasilkan seribu perak aja aku nggak bisa.

Menyebalkannya, aku juga ingin minggat dari apartemen sialan ini. Setiap sudut mengingatkanku pada orangtuaku dan jangan lupa si nenek sihir ternyata juga tinggal di apartemen ini, tapi disisi lain aku juga sadar, mau tinggal dimana aku selain disini?

Yang terpenting, Ringgo juga ada disini. Aku nggak bisa jauh dari Ringgo.

Akhirnya aku mencoba berpikir rasional berjam-jam. Aku harus melanjutkan hidup walaupun saat kuterawang masa depan ku sekarang kelihatan konyol.  Tidak seperti dulu, jalan hidupku terasa lancar dan lurus. Kalau sekarang? Aku masih hidup saja sudah bagus.

Ternyata Tuhan cukup baik kali ini. Ketika pikiranku buntu dan jari-jariku bergerak memencet tombol channel TV dengan acak, aku melihat jawaban Tuhan muncul di depan mata.

Dibalik layar aku melihat Ringgo, ia di liput di samping seorang laki-laki berwibawa yang kutebak adalah ayahnya dalam kegiatan rapat partai. Dengan pakaian jas formal dan kacamata yang membuat wajah Ringgo tampak jauh lebih dewasa.

Untuk beberapa saat aku tersihir memandang wajah Ringgo. Ringgo tidak pernah membahas rencana masa depannya. Tapi jelas kulihat, dari setiap gerak gerik Ringgo di layar. Ia tertarik dengan dunia politik. Kuakui Ringgo memang cocok untuk terjun dalam dunia itu. Semua itu ada dalam darahnya. Ringgo seperti terlahir untuk menjadi pemimpin.

Dan semuanya menjadi jelas. Aku tidak boleh menghalangi masa depan Ringgo.

Me Before You (Completed)Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ