Part 7

667 123 0
                                    

"Ringgo mau nggak sekarang nemenin aku pergi? Yang jauuuh. Keluar kota kalau bisa." Tanyaku sambil meminum susu coklat.

Ringgo mengerutkan kening. Pasti baginya ini permintaan paling aneh selama setengah tahun terakhir.

"Aku bosen nangis disini melulu. Aku mau ganti suasana nangis."

"Kemana?" Tanya Ringgo balik. Aku sampai kaget. Jarang-jarang Ringgo merespon kata-kataku.

"Tumben Ringgo ngomong." Jawabku geli.

"Kamu ketawa." ujar Ringgo datar sambil memperhatikanku tertawa.

"Iya aku ketawa. Kenapa? Aku bisa nangis sambil ketawa. Ringgo lupa?"

Ringgo mendengus mengalihkan pandangan lagi. Tamat. Sudah berakhir sesi tanya jawab kami. Kembali ke rutinitas semula. Aku bicara dan Ringgo menontonku bicara. Drama dengan satu pemain dan satu penonton.

"Jadi Ringgo mau nggak?" Tanyaku sekali lagi.

Bibir Ringgo mengernyit kesamping. Ia beranjak berdiri. Masuk kedalam kamar. Kemudian kembali lagi beberapa menit kemudian dengan hoddie dan topi.

Aku bertepuk tangan tanpa suara sambil tersenyum. Aneh ya, semua artikel yang kubaca mengarahkan apa yang kurasakan selama ini sebagai gejala depresi. Tapi bibirku tetap tersenyum walaupun mataku bengkak total.

Ini komplikasi rumit, antara kebiasaan yang sudah di tanamkan oleh orang-orang di sekitarku sejak kecil sekaligus apa yang di harapkan orang lain ketika melihatku.

Dari kecil, papa mama termasuk kakekku selalu bilang, jangan pernah menunjukan kesedihan sama sekali. Tetap tersenyum walaupun sedang susah. Padahal ada saatnya aku juga merasa bad mood atau jengkel. Kebanyakan dari teman-temanku berharap aku selalu ceria seperti biasa. Daridulu setiap aku cemberut atau nangis, tidak ada yang mau mendengarku curhat. Mereka malah mengejekku. Padahal aku manusia normal. Bukan manusia robot ala Ringgo.

Jadi, aku kasihan sekali ya? Kadang-kadang aku memang mengkasihani diriku sendiri. Ternyata memang benar apa yang di katakan semua orang. Uang tidak akan bisa membeli kebahagiaan tapi... Well tapi memang benar, lebih enak menangis dalam mobil daripada nangis sambil naik sepeda.

Aku memperhatikan Ringgo memakai hoodienya yang tebal sambil mengerutkan kening, "Kenapa kamu pakai jaket setebel itu sih? Emang kita mau ke tempat yang bersalju?"

Bibir Ringgo, tertarik sedikit kesamping. Ternyata Ringgo juga bisa tersenyum ngejek. Luar biasa. Aku sampai bengong. Karena gerakan sekecil itu bisa membuat wajahnya tampak lebih.....mempesona?

Tapi disaat yang sama aku merasa hal yang aneh, rasanya senyum Ringgo terasa familiar. Rasa-rasanya aku sering melihat senyum macam itu. Tapi dimana ya? Padahal seingatku Ringgo boro-boro pernah tersenyum setahun belakangan ini.

"Jadi, kita mau kemana?" Tanyaku lebih untuk mengalihkan perhatianku.

Ringgo mengangkat bahunya. Aku balik mengangkat bahu sambil nyengir. Dasar aku itu. Pingin rasanya aku menjahit mulutku supaya berhenti nyengir. Aku ingin bertingkah seperti layaknya orang yang memang sedang sedih. Aku ingin Ringgo SADAR aku MEMANG BENAR-BENAR susah. Aku ingin Ringgo tau kalau aku juga bisa SANGAT sedih. Tapi bibirku senyum. Apa ini penyakit? Atau memang dasarnya sifatku.

Me Before You (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang