Part 8

647 126 0
                                    

Hampir semua orang yang mengenalku mendiskripsikan diriku sebagai orang yang banyak tertawa, ramah, menyenangkan. Ya walaupun aku  bukan badut kelas, hampir semua orang menyukai keberadaanku. Aku hampir tidak pernah punya musuh. Semua orang bahkan mendiskripsikan diriku sebagai seseorang yang tidak pernah punya masalah. Ya... Bisa begitu karena memang ku setting seperti itu. Aku sering bilang, "Nggak masalah" atau "Santai" atauu "Oh, begitu ya? Ya sudah."

Mau temanku pinjam bukuku di hilangin atau hp ku nggak sengaja di jatuhin atau apapun. Aku tetap cengar-cengir saja. Walaupun tetep jengkeeel sekali dalam hati. Karena aku bangga tampak seperti orang yang tidak punya masalah. Senang karena orang-orang iri melihat hidupku yang kelihatan sempurna dari luar. Ya walaupun sejauh ini aku kurang lebih juga menganggap hidupku jauh lebih sempurna dari kebanyakan orang.

Efek negatifnya? Yah orang tidak akan mrngharap mendengar ku curhat. Atau curhatanku di anggap sambil lalu. Lebih tepatnya, orang menganggapku tong sampah curhatan mereka tapi mereka tidak mau mendengar ku curhat. Aku sampai mual mendengar curhatan teman-temanku yang tidak ada habisnya. Tapi bagi mereka masalahku terlalu di anggap sepele. Seperti aku sudah punya segalanya, otak uang harta, masalah sakit hati sedikit sama guru/temen is okay. Hal-hal seperti itu terjadi terus sejak dulu, lama-lama aku jadi malas untuk bercerita. Lebih baik menyimpan perasaanku sendiri. Pura-pura baik-baik saja sejak dahulu.

Tapi sekarang, aku punya Ringgo. Tong sampah curhatanku. Satu-satu nya orang yang diam saja mendengar an saat aku curhat. Tidak men judge apalagi ngasih solusi. Yah dari pada solusinya tidak berguna macam 'ikhlaskan saja' atau 'sabar ya'. Solusi defaults seperti itu, sudah kuno. Malah kedengaran seperti basa-basi tidak bermutu bila di hadapkan dengan masalahku.

Oh ya, saat ini Ringgo membawaku ke City walk dekat apartemen. Sepanjang jalan adalah kafe. Aku sudah biasa datang ke satu kafe ke kafe yang lain bersama dengan teman-temanku. Jadi aku agak-agak kecewa juga karena Ringgo mengajakku ke tempat seperti ini. Kukira ke tempat lain yang lebih spektakuler seperti... Apa ya? Seperti ya kok tidak ada tempat yang tidak pernah kudatangi. Atau sebenarnya tidak ada tempat bagus untuk orang yang sedang sedih.

"Apa nggak panas nggo?" Tanyaku heran.

Ringgo menunduk menatap ke arahku. Ia memakai masker dan hoodie siang-siang. Berasa indonesia kurang panas.

"Apa karena papamu pejabat?" Tanyaku heran. Ya aku pernah dengar kalau papa Ringgo desas desus nya adalah pejabat. Tapi pejabat apa aku kurang tau. Karena sekolahku penuh dengan anak pejabat ini, artis itu dan lain lain.

"Mungkin." Jawab Ringgo tenang.

Oh, ternyata tidak sesulit itu untuk bicara jujur dengan Ringgo. Sebetulnya is cukup terbuka...kalau ditanya duluan.

"Ringgo, disini panas. Kenapa kita harus keluar jalan kaki? Kenapa nggak naik mobil?" Rengekku.

"Sebetulnya kamu sendiri mau kemana?" Tanya Ringgo balik.

"Kemana aja yang nggak panas." Rengekku.

"Jadi terserah aku?" Bibir Ringgo menyeringai membuat perasaanku mendadak jadi tidak enak.

Me Before You (Completed)Where stories live. Discover now