Part 20

559 103 0
                                    

Seumur hidup aku nggak pernah dengar ada orangtua kabur dari rumah. Tapi hal itu yang terjadi padaku. Padahal harusnya akulah yang pergi, tapi justru mereka duluan yang pergi.

Harusnya ceritanya tidak begini. Aku kan korban. Tapi kenapa justru mereka yang bertingkah seperti korban? Kenapa aku malah di tinggal? Aku nggak butuh satu potong kertas berisi tulisan maaf. Aku juga tidak butuh buku tabungan, segepok uang dan kartu credit.

Yang kubutuhkan, mereka duduk disebelahku. Mendengarkanku dan menjelaskan kenapa mereka melakukan itu. Mungkin keluargaku bisa memulai dari awal lagi. Walaupun jelas tidak akan sama lagi.

Tapi mereka malah memutuskan pergi. Kabur. Mungkin mereka malu atau sebetulnya tidak betul-betul sayang padaku. Ternyata orangtua hanya masalah umur dan umur tidak bisa menjamin kedewasaan seseorang.

"Pengecut!" Aku menangis dan  berteriak sekeras-kerasnya, "Orangtua tidak bertanggung jawab!" Seruku marah sementara Ringgo duduk menontonku dari sofa ruang keluargaku.

Aku bahkan tidak bisa menalar APA yang sebetulnya terjadi diantara kedua orangtuaku. Setahun yang lalu mereka TAMPAK baik-baik saja tapi kenapa mendadak semuanya berubah?

Tiba-tiba aku teringat keluarga besarku. Mungkin mereka tau. Tapi tunggu, sejak kapan aku dekat dengan anggota keluarga besarku? Sepupuku? Kakekku? Aku hampir tidak pernah menemui mereka apalagi bicara lewat telepon. Mereka semua sibuk dan kebanyakan tinggal jauh sekalk dariku.

Mungkin kakekku? Tapi bisa juga beliau tidak tau apa-apa.  Bagaimana kalau sebetulnya beliau tidak tau lalu kuberitau kemudian kakekku mendadak mati jantungan?

Bagaimana dengan teman-temanku? Mereka sejenis orang yang pergi ke satu cafe ke cafe lainnya. Tidak mau ambil pusing kecuali masalah belanja,  cowok dan uang saku. Percuma memberitau mereka. Mereka mau mendengar saja sudah bagus.

Kali ini aku melirik Ringgo, aku betul-betul tidak punya pilihan lain.  Ringgo satu-satunya yang tau dan dia berpengalaman. Mungkin dia yang paling bisa memahami alasan kedua orangtuaku pergi.

"Aku nggak tau." Ringgo hanya menggeleng setelah aku bertanya. Aku menatapnya dengan tidak puas.

"Pengalaman kita yang sama itu cuma sebatas papa kita sama-sama selingkuh ya?"

"Nggak, Emma. Ayahku juga pergi."

"Mamamu juga biarin papamu pergi?"

"Orangtuaku bercerai waktu aku masih kecil, Emma. Sudah bertahun-tahun lalu."

"Terus perempuan yang kadang ikut papamu di acara tv itu siapa?"

"Ibu tiriku." Jawab Ringgo tenang, "Ibuku sekarang juga sudah menikah lagi."

"Jadi Ibu tirimu itu selingkuhan papamu dulu?"

Ringgo terdiam sesaat sebelum perlahan mengangguk, "Ya."

"Apa Ringgo nggak marah?" Tanyaku jijik. Seingatku aku pernah beberapa kali melihat Ringgo bersama dengan Ibu tirinya di televisi. Kalau aku, sampai matipun aku tidak mau berdiri bersebelahan dengan selingkuhan papaku.

"Aku marah. Tapi itu sudah bertahun-tahun lalu. Semuanya sudah berlalu." Jawab Ringgo tenang.

Aku menatap Ringgo marah. Dibalik air mataku, aku bisa merasakan bibirku berdarah saking kuatnya aku mengigit bibir. Rasanya aku tidak puas sekali, aku ingin mendengar Ringgo melakukan hal yang jahat, sejahat yang di lakukan orangtua kami. Menyebalkannya, Ringgo ternyata cukup baik untuk memaafkan, yang menurut standar ku lebih tepatnya, terlalu baik. Atau mungkin sepuluh dua puluh tahun lagi aku bisa bersikap setenang Ringgo, menertawakan hari ini. Bahkan mungkin, melupakan hari ini.

Seandainya saja ya. Tapi di saat yang sama, aku berharap, semoga aku tidak akan pernah melupakan sakit hati ku hari ini.

"Emma." Mendadak bibir Ringgo bergerak pelan memanggil namaku. Pertama kalinya, Ringgo menyebut namaku dengan suara lembut. Mengalun dengan suara berat dan dalam. Dan ini  untuk pertama kalinya juga, Ringgo menghampiri ku terlebih dahulu kemudian membenamkan wajahku dalam pelukannya.

Me Before You (Completed)Where stories live. Discover now