Part 76

413 77 1
                                    

Aku duduk terdiam, menekuk lutut. Memeluk diriku sendiri sambil memandangi sinar matahari yang menyusup sedikit dari balik korden jendela kamar Ringgo yang sengaja kututup. Aku nggak mau mendengar isi pembicaraan telepon Ringgo. Tapi Ringgo dengan sengaja duduk di sampingku. Membuatku terpaksa sayup-sayup mendengar suara papaku dari balik telepon.

Ringgo tidak marah-marah saat berbicara dengan papaku. Nada suara nya tenang dan kalem. Membicarakan aku. Tentang sekolahku. Tentang banyak hal. Salah sedikit yang kutangkap adalah papa dan Ringgo setuju aku tidak berangkat sekolah untuk sementara. Semua pembelajaran melalui online class. Dengan izin khusus.

"Aku nggak suka Ringgo ngobrol dengan papaku." Gerutuku begitu Ringgo menutup telepon.

"Aku juga nggak suka." Jawab Ringgo, "Tapi ini penting buatmu."

"Penting mananya?"

"Sejahat-jahatnya orangtuamu. Mereka tetap orangtua. Mereka masih punya hak dan kewajiban."

"Anggap aja mereka udah nggak ada."

"Kenyataannya mereka masih ada, Emma." Ringgo menghela nafas, "Nggak semua hal bisa kulakukan sendiri. Nggak mungkin aku yang minta izin untukmu ke sekolah atas namaku."

"Terus apa setelah ini Ringgo bakal antar aku pulang ke apartemen?"

"Nggak. Kamu tetap disini." Jawab Ringgo tegas, "Ibuku, Ren. Bakal ngerawat kamu disini. Sampai kamu sehat."

Aku menggeleng keras-keras, "Nggak mau. Aku nggak mau ngerepotin keluarga Ringgo."

Ringgo menepuk puncak kepalaku, "Kamu nggak ngerepotin siapapun."

"Tapi aku malu ngehadapin keluargamu. Mereka pasti sudah tau soal keluargaku dari berita kan? Aku nggak mau keluarga Ringgo kebawa-bawa masalah keluargaku."

"Nggak, Emma." Kini Ringgo mengelus rambutku seperti aku anak kecil, "Percaya aku."

"Tapi.." Aku menggigit bibir takut, "Ringgo punya papa tiri kan? Gimana kalau beliau ternyata nggak setuju aku tinggal disini?"

Ringgo mengangguk, "Ayah tiriku pilot. Beliau jarang di rumah. Setelah beliau tau ini semua beliau juga pasti mau kamu tinggal disini."

Aku mengerutkan kening tak percaya, "Kenapa?"

"Aku pernah bilang ; kita sama, Emma. Kita pernah ngalami hal yang sama. Orangtuaku lebih paham soal ini daripada orangtua-orangtua lain."

Aku termenung. Aku dan Ringgo dalam beberapa hal memang sedikit sama.... Tapi juga berbeda. Ringgo lebih baik dari aku. Lebih kuat dari aku. Dia lebih bisa menghadapi masalahnya banding aku. Tapi kenapa aku nggak bisa? Kenapa aku nggak bisa seperti Ringgo?

Jawaban pertanyaanku, ternyata kutemukan lebih cepat dari yang kukira. Siang harinya, ketika aku memberanikan diri turun menemui ibu Ringgo. Aku melihat Ringgo baru saja pulang menjemput Ren dari sekolah. Ringgo hanya tersenyum melihatku duduk bersama dengan ibunya sebelum ia berganti pakaian kemudian mulai mengerjakan pekerjaan rumah yang seumur hidup belum pernah ku lihat dilakukan oleh papaku.

Papaku selalu pulang malam dan berangkat pagi. Kalaupun beliau di rumah, beliau selalu menghabiskan waktu dengan menatap layar handphone. Makan. Duduk. Baca koran. Diam saja. Tapi Ringgo berbeda, dia menyapu, ngepel, memasukan baju kotor ke mesin cuci. Melakukan semua pekerjaan domestik yang biasanya hanya di lakukan ibu-ibu rumah tangga tanpa di minta ibunya.

Ibu Ringgo tersenyum geli melihatku tercengang menatap Ringgo bergerak kesana kemari, "Ringgo memang begitu. Dari kecil dia selalu rajin. Makanya ibu nggak keberatan dia tinggal sendirian di apartemen."

Sudah dari lama aku tau apartemen Ringgo selalu rapih dan bersih. Tapi aku nggak tau kalau Ringgo benar-benar ngelakuin semuanya sendiri. Termasuk belanja, memasak, segala tetek bengek listrik dan pertukangan rumah tangga. Waktu kutanyakan ke Ringgo alasannya. Ringgo hanya menjawab singkat, -karena dia memang suka ngelakuin itu semua.

Ringgo punya hobi yang di luar ekspektasiku. Ekspektasi semua orang. Sesuatu yang dia memang suka. Yang dia nggak keberatan lakukan setiap hari untuk menghabiskan waktu. Hobi yang berguna.

Sementara aku? Aku nggak paham diriku sendiri. Aku nggak yakin ada sesuatu yang benar-benar kusukai. Daridulu aku bisa mendapatkan semua barang yang ku inginkan hanya dengan tinggal minta. Saking mudahnya sampai semua barang yang kuinginkan jadi nggak bernilai lagi di mataku.

Aku juga nggak tau hobiku apa. Dulu kukira hobiku adalah datang ke kafe. Tapi setelah kupikir, itu cuma hobi yang kupaksakan supaya aku bisa ngobrol dengan teman-temanku. Fakta ini membuatku malu. Hal paling basic seperti hobi dan kesukaan saja aku nggak punya. Apalagi cita-cita?

Me Before You (Completed)Where stories live. Discover now