25. BEBAN

851 98 5
                                    

“Halo, Sayang, kok baru pulang jam segini?’ sapa Surya saat panggilan video tersambung.

“Iya, tadi beli vitamin dulu buat Sintya,” jawab Kalia.

Dua pekan berlalu dua sejoli itu menjalani hubungan jarak jauh. Setiap hari mereka selalu bertukar kabar kegiatan masing-masing. Surya mendapat tugas di sebuah puskesmas desa terpencil di daerah pulau Sumatra. Desa yang dikelilingi perbukitan dan minim akses internet.

Kedatangan Surya mendapat sambutan hangat dari warga, karena selama ini tenaga kesehatan sangat terbatas. Tak hanya warga, Surya pun disambut dengan tangan terbuka oleh tim yang bertugas di Puskesmas. Terutama oleh seorang dokter umum bernama Martha. Perempuan keturunan Tiong Hoa itu langsung jatuh cinta pada pandangan pertama pada kekasih Kalia.

“Kamu gimana di sana, Mas? Ini bagus sinyalnya.” Tanya Kalia heran.

“Iya nih, Alhamdulillah lagi dapet sinyal bagus. Itu juga aku harus jalan jauh ke luar baru dapet sinyal.”

“Oh, pantes.” Kalia menganggukkan kepala.

Satu hal yang menghambat hubungan mereka adalah minimnya akses internet di tempat Surya mengabdi. Sehingga membuat komunikasi mereka terkadang tertunda. Seperti malam ini, Kalia kadang tak bisa menyimak obrolan Surya dengan jelas. Bahkan beberapa kali sempat terjadi pertengkaran kecil akibat susah sinyal. Namun, dua sejoli itu akhirnya kembali akur.

“Oya, gimana kabar Sintya, ada keluhan apa?”

Kalia melirik sekilas ke arah adiknya yang sedang tertidur dengan posisi miring.

“Yah, Alhamdulillah udah nggak begitu  mual, cuma sekarang jadi lebih pendiem aja. Aku jadi khawatir, Mas.”

Kalia mulai mengkhawatirkan kondisi Sintya, bukan secara fisik tapi secara mental. Terlihat Surya menghela napas, dokter muda itu sadar ia tak bisa secara langsung membantu kejarakasihnya.

“Mungkin dia juga butuh hiburan biar nggak stress, Sayang.”

“Iya  sih, tapi udah sering aku tawarin buat jalan-jalan, atau sekadar keluar ke  teras. Sintya jadi lebih tertutup sekarang, aku bingung harus gimana, Mas?” keluh Kalia.

Kehamilan Sintya telah merubah segalanya, gadis 16 tahun itu mendadak menjadi pendiam, murung dan  menyendiri. Tak ada lagi celoteh dan keceriaan dari adik Kalia itu.

Kalia dan Surya masih saling bertukar cerita lewat panggilan video,  tanpa mereka sadari Sintya sejak tadi menyimak obrolan mereka. Diam-diam remaja hamil itu iri pada sang kakak yang begitu berutung mendapatkan seorang laki-laki yang mencintai dengan tulus. Berbeda dengan dirinya yang selalu bertemu dengan cinta semu.

Usai bertelepon video hampir satu jam, Kalia pun bersiap untuk tidur. Berbeda dengan Surya yang masih ingin menikmati pemandangan bukit di malam hari yang diselimuti sinar rembulan. Bagi Surya, desa tempat ia tinggal begitu mempesona, lingkungan yang masih asri dan udara yang masih bersih bebas polusi.

Hanya satu kekurangan di desa tersebut, tak ada akses internet yang memadai. Surya harus berjalan menjauh dari rumah sewanya sampai ke perbukitan baru bisa mendapat sinyal.

Malam pun semakin larut dan dingin, Surya akhirnya memutuskan untuk kembali pulang. Namun, nasib malang pun harus dokter muda itu terima. Ponsel yang sedang ia pakai untuk merekam susasana malam pun terjatuh di sela semak belukar saat kakinya tersandung akar tanaman yang besar.

“Duh! Jatuh lagi!”

Surya berusaha meraba di sela-sela semak, suasana yang sepi dan minim cahaya membuat kekasih Kalia itu tak bisa meminta bantuan. Hingga saat sedang sibuk mencari ponselnya, kakinya tergelincir dan dokter muda itu pun terperosok dan berguling di tanah landai yang cukup curam.

“Tolong! Tolong!” teriak Surya.

Sekuat tenaga dokter muda itu mencoba bangun, tetapi tak bisa karena kakinya terasa sakit luar biasa akibat terguling dan terbentur batang pohon dan bebatuan. Tangannya pun sudah terluka parah karena tergores ranting dan bebatuan

“Tolooong!” suara Surya melemah, tak ada satu pun warga yang bisa mendengar. Karena dokter itu sudah terkapar di dasar jurang.

*****

Hari ini Kalia pulang kerja agak lebih malam, selain karena pekerjaan yang masih menumpuk, juga karena satu hari ini ia tak konsentrasi kerja. Sejak pagi, Surya belum bisa dihubungi hingga terakhir sore tadi. Hanya suara perempuan yang menjawab otomtis semua panggilan Kalia, bahkan pesannya pun belum terkirim apalagi terbaca oleh kekasihnya.

“Apa sinyalnya lagi jelek banget ya? Atau lagi banyak pasien?” Kalia mencoba pengertian.

Seperti biasa, sebelum sampai indekos Kalia menyempatkan diri untuk membeli makan malam. Kali ini ia memilih nasi padang favorit adiknya. Meski kadang memancing emosi bahkan membuat masalah, tapi Sintya adalah segalanya. Ia tetap menyayangi sang adik apa pun yang terjadi.

Sesampai di kamar indekos, Kalia tak mendapati Sintya yang biasanya sedang berbaring sambil bermain gadget. Kekasih Surya itu mengedarkan pandangan ke penjuru kamar, hanya tersisa satu ruangan yang tertutup rapat. Perlahan Kalia berjalan menuju kamar mandi.

“Sintya! Ini kakak pulang, kita makan yuk!” seru Kalia sambil mengetok pintu.

Hening, tidak ada sahutan dari dalam.

“Sintya! Kamu lagi ngapain? Mandi atau pup? Gantian dong, Kakak juga kebelet pipis.”

Ketukan demi ketukan kembali tak terjawab. Kalia pun penasaran dan mencoba membuka pintu yang ternyata tak dikunci. Namun, saat pintu berhasil dibuka, Kalia pun terkesiap dan reflek berteriak.

“SINTYAAA!”

Gegas Kalia menghampiri Sintya yang sudah tergeletak di lantai kamar mandi dengan pergelangan tangan kiri yang mengucur darah segar berwarna merah pekat.

“SINTYA! BANGUN! JANGAN KAYAK GINI!”

Kalia terus berusaha menepuk pipi adiknya agar kembali tersadar, tetapi tak berhasil. Segera Kalia mengambil gawainya dan menelepon Surya, berharap bisa tersambung dan mendapat panduan untuk pertolongan pertama.

“Ck! Mas Surya ke mana sih?” Kalia semakin geram dan kalut karena teleponnya tak kunjung tersambung.

Kalia tak kuasa menahan tangis saat melihat kondisi Sintya yang begitu tragis, tak hilang akal ia lalu menelepon temannya di rumah sakit dan meminta bantuan medis. Setelah mendapat respon, Kalia pun menungu bantuan dengan tak sabar.

“Sintya, bangun, Dek! Kamu nggak boleh kayak gini … kamu … kamu nggak boleh pergi juga. Kamu satu-satunya punya Kakak!” tangis Kalia pecah.

Saat menunggu bantuan datang, terdengar suara pintu kamar indekos di ketuk. Gegas Kalia berlari dan membuka pintu. Betapa terkejutnya Kalia saat melihat sosok wanita menggendong bayi, berdiri di ambang pintu dengan tersenyum penuh haru.

“Kalia?”

“Mama?!”

Mama Susi segera menghambur ke pelukan putri sulungnya. Namun Kalia masih diam membisu. Segala tanya kini berkelebat, dari mana ibunya tahu alamat indekosnya? Sejak kapan ia pulang ke Indonesia? Kemana saja ibunya selama ini? Dan siapa bayi yang digendong ibunya?

🌞🌞🌞🌞🌞

SURYA DI SURALAYA✔️Where stories live. Discover now