Chapter 0.9

116 20 0
                                    

Malam semakin larut. Laki-laki di sebuah apartemen itu masih saja melamun, mengabaikan kepulan asap kopi yang semakin menipis dimakan angin malam. Dewa menghela napasnya panjang. Entah apa yang dia pikirkan. Dia hanya pusing karena kejadian aneh akhir-akhir ini yang masih belum bisa diterima oleh otak dan pikirannya.

Dewa melirik jam di dinding. Sudah jam tiga pagi, dan dia masih belum terpikirkan untuk pergi ke alam mimpi padahal sekarang hari senin. Dewa menunggu seseorang. Menunggu seseorang itu mengirimkannya pesan maupun meneleponnya untuk memberi kabar. Tetapi sampai sekarang belum ada yang ditemukan.

Dewa melihat kumpulan benda berkilau di langit. Meniti setiap pikirannya yang kusut dan berbelit. Tiba-tiba suara notifikasi masuk, disusul panggilan suara. Dewa langsung mengambil ponselnya dan menerima panggilan itu.

"Gimana?"

"Saya sudah berhasil menemukan beberapa identitas keluarga inti Darien. Keturunan terakhir benar-benar ditutup rapat, sampai kami tidak bisa menembus info apapun. Tetapi—"

Dewa mengangkat satu alisnya.

"Tapi?"

"Tetapi saya menemukan satu informasi yang mungkin dapat membantu anda. Pada saat kejadian pembunuhan satu tahun lalu, ada satu saksi mata yaitu pembantu rumah keluarga Eden yang ikut menghilang seperti keturunan terakhir Eden. Dia sempat bersaksi di pengadilan, bahwa keturunan terakhir Darien yang membantai habis keluarga Eden bersama kakaknya, dia memakai topeng hitam yang menutupi setengah wajahnya. Setelah itu saksi menghilang seperti di telan bumi. Hanya itu yang bisa saya dapatkan, tuan. Maaf, saya akan usahakan mencari informasi tentang saksi itu sampai dapat"

Dewa menghela napas panjang. Topeng hitam? Kenapa terlihat seperti agak mirip dengan dirinya saat melakukan tugas? Hanya saja dia menutup seluruh wajahnya, bukan setengah..

"Cari info lebih dalam. Dan cari data semua pembantu yang pernah bekerja di keluarga Eden, secepatnya!"

Dewa menutup sambungan telepon. Napasnya terdengar lebih cepat. Dewa memijat pelipisnya kembali. Kenapa dia ikut pusing dengan masalah gadis itu? Tidak biasanya dia ikut memikirkan masalah orang lain. Apalagi gadis asing yang sama sekali tidak berhubungan dengannya. Ada apa dengannya?












Berbeda tempat dengan Dewa, Aruna sendiri juga masih membuka matanya. Dia memegang pensil di tangannya dan memaksa tangannya untuk menggambar sesuatu. Tetapi hasilnya malah gagal dan berujung kertas-kertas itu berakhir di tempat sampah.

Aruna menarik dua kertas yang dia gambar kemarin. Senyumnya terlihat sendu. Melihat dua gambar yang berisi dirinya, orang tuanya dan juga adiknya. Air bening perlahan menetes. Andai saja dia tidak dikejar, andai saja dia tidak terjebak di sini, mungkin dia sudah berusaha mencari adiknya sampai ketemu. Andai saja....
















Pagi ini tak seperti biasanya. Hesa melihat Dewa yang tertidur di meja, tak seperti hari-hari biasanya. Dia melirik ke Rian yang sama bingungnya. Tumben sekali melihat Dewa yang tertidur sepagi ini.

"Pagi!! Widih tumben nih anak tidur?" Tanya Juna yang baru saja datang.

Hesa mengangkat bahunya, "Dari gue sampe dia udah tidur"

"Kayaknya nih anak gak tidur semaleman. Oh iya, abis ini siapa sih yang amanat upacara?"

Hesa menggeleng, "Gue gatau kan bukan ketos lagi. Eh? Emang kita ada ulangan lagi? Kok nih anak gak tidur?"

"Ada anjing!! Matematika!!"

Hesa dan Rian langsung melotot saat mendapatkan info barusan dari Juna.

MIRROR | Jay ✓Where stories live. Discover now