Chapter 4.8

64 10 0
                                    

Dewa mengigit jarinya, menunggu seseorang keluar dari kamar Aruna. Dia tak sendiri, semua berkumpul di sini. Papanya bahkan yang memanggil dokter keluarga untuk memeriksa Aruna. Dewa khawatir gadis itu semakin parah. Apalagi wajah gadis itu tadi benar-benar pucat.

Suara pintu terbuka, membuat semu pasang mata menatap ke seseorang yang baru saja keluar dari kamar Aruna. Wajah dokter tidak terbilang bagus. Bahkan terdengar helaan napas tipis sebelum membuka suaranya.

"Saya sudah bilang sebelumnya trauma nona Aruna cukup buruk kan? Tapi bukan itu yang buat dia sampai pingsan lagi"

"Tubuh nona Aruna memang lemah. Dia sama sekali tidak boleh memikirkan sesuatu terlalu berat, atau kelelahan. Jantungnya ada masalah, dan sewaktu-waktu akan terjadi seperti ini. Jika terus-menerus, kemungkinan terburuk akan terjadi"

Dewa terkejut. Penjelasan dokter barusan benar-benar terasa baru di telinganya.

"Kakak memang lahir prematur. Dulu sering banget bolak-balik rumah sakit. Udah separah itu, dok?" Ucap Juan, memperjelas.

Dokter tersenyum, "Doakan yang terbaik saja ya? Pastikan dia tidak boleh memikirkan sesuatu yang berat, atau melakukan pekerjaan yang memakan energinya. Saya akan meresepkan obatnya dan membawanya nanti. Biarkan nona istirahat dulu. Saya pamit dulu"

Dokter ijin pergi, di antar oleh papa Dewa ke bawah. Juan menghela napas panjang saat melihat dokter itu turun. Lututnya melemas. Laki-laki itu bahkan sampai terduduk di lantai. Arsel memegang Juan, agar laki-laki itu tidak benar-benar terjatuh.

"Gue lupa sama hal itu. Kenapa gue bodoh banget sih?! Seharusnya gue ga bikin kakak kepikiran terus!"

Juan mulai menyalahkan dirinya sendiri. Dewa menarik napasnya. Ikut terduduk di sebelah Juan. Dewa tidak bisa berpikir dengan jernih. Dia bingung, kesal, sakit, semua campur menjadi satu. Ini juga salahnya. Seharusnya dia segera menyelesaikan semua, tidak membuatnya semakin berbelit sampai membuat gadis itu jatuh sakit.

"Maafin gue. Kalo gue gak ngajak kak Diksa ke atas, dia gak bakal pingsan"

Arsel menunduk. Mulai menyalahkan dirinya atas semuanya. Juan yang mendengar itu, mengacak rambutnya.

"Telat! Penyakit kakak gue makin parah gara-gara lo!!"

Dewa terkejut saat Juan melayangkan amarahnya ke Arsel.

"Ju?"

"Apa?! Lo juga gatau kan kalo kalo kakak gue punya masalah jantung?! Mau belain dia?! Udah jelas kakak udah sakit malah dipaksa naik ke atas, dingin!"

Dewa terdiam. Juan berteriak kemudian berjalan pergi meninggalkan ke dua orang itu. Dewa menarik napasnya panjang. Melihat Arsel yang meremas jari-jarinya.

"Sel? Jari lo bisa berdarah kalo lo gituin terus!!"

"Maaf.. maaf.. maaf... Kalo bukan gara-gara gue, pasti kak Diksa gak bakal jadi kayak begini"

Isakan tangis tipis mulai hadir. Dewa menarik napasnya. Jujur dia juga kesal karena memang yang membuat Aruna semakin memucat tadi, udara dingin luar. Apalagi yang mengajak gadis itu adalah Arsel. Dewa ingin marah. Tetapi dia sadar jika semuanya juga bukan sepenuhnya salah Arsel. Dewa yakin ada sesuatu yang disampaikan Arsel, hingga membawa gadis itu ke atap rumahnya.

Walaupun masih abu-abu dan tak tau itu benar atau tidak, Dewa yakin jika hal baik. Jika pemikirannya salah, dia akan memberikan pukulan manis ke laki-laki itu karena membuat gadisnya menderita. Apalagi Juan. Juan semarah itu pasti juga karena kesal, orang yang dia jaga selama ini malah jatuh lemah seperti ini.

Dewa tau rasa kesal yang dirasakan Juan sampai semarah itu. Laki-laki itu hanya butuh waktu untuk meresapi semua kekesalannya. Dewa juga tidak mau mengganggu Juan dulu. Rasa kesal laki-laki itu lebih dalam. Apalagi gadis itu mempunyai hubungan darah dengannya, pasti ikatan benang transparan di antara keduanya sangat kuat. Pasti rasa sakit yang dialami Aruna, juga ikut dirasakan Juan. Dan bisa lebih sakit..

MIRROR | Jay ✓Where stories live. Discover now