01. Sean dan Tangga

2.5K 332 20
                                    

"Anak mama yang ganteng, yang pinter, bangun yuk." Mama membangunkan anak kesayangannya dengan lembut.

Semuanya bangun kecuali Sean. Ia masih terlelap dalam tidurnya. Tadi malam, Sean sibuk belajar buat ikut olimpiade matematika, dia berharap kalo dia bisa menang dan bisa banggain mama, biar mama nggak malu punya anak kayak dia.

Mama menatap pintu kamar Sean yang masih tertutup, "Bangun, pemalas! Tidur aja kerja kamu, mau jadi apa kamu, hah?!" Mama menarik selimut dan guling Sean, lalu menarik baju Sean agar dia segera bangun.

Sean tidak terkejut lagi dengan perlakuan mama yang seperti ini, sudah biasa.

Kakak dan adik Sean hanya bisa menatap itu dengan tatapan sedih, kenapa mama nya ini begitu kejam kepada Sean hanya karena Sean mirip dengan papa? Sean itu anak papa juga, jelas dia mirip sama papa.

Mama melempar Sean ke depan pintu dan pergi ke dapur untuk menyiapkan makanan. Di depan pintu, saudara-saudara kesayangan Sean menatap Sean dengan tatapan, "Kamu gapapa kan?"

Dan Sean hanya bisa menjawab dengan senyuman manisnya walaupun mereka yakin Sean merasa sakit dan sedih.

"Ma." Sean bersuara di keheningan makan pagi itu.

"Sean ikut olimpiade matematika, ya?" Tanya Sean.

Mama menatap Sean dengan tatapan tajam, "Percuma kamu ikut, kamu ga bakal menang, gak usah malu-maluin deh." Ucap mama.

"Nggak, ma. Sean pasti bisa menang kok." Ucap Sean dengan bersemangat.

"Awas kalo kamu cuma malu-maluin mama, kamu ga boleh masuk rumah lagi."

Mendengarnya, Sean merasa sedikit tertekan dan hanya mengangguk.

"Ma, jangan gitu dong. Yang penting kan Sean udah berusaha mau ikut olimpiade, gak semua orang harus bisa menang, ma." Kak Mahesa bersuara.

"Kalo dia emang gak bisa menang, ngapain ikut? Nggak ada gunanya." Ucap mama tak terima.

"Ya apa salahnya dia coba, ma? Masih mending dia punya niatan mau ikut olimpiade, daripada ngga sama sekali?"

"Duh terserah kakak deh! Kamu juga, buat kacau aja pagi-pagi. Emang kamu tuh lebih baik gausah disini, sama papa aja."

Mama pun pergi ke kamarnya sambil membanting pintu.

Sean membungkukkan badannya untuk meminta maaf kepada saudara-saudaranya.

"Kamu gak perlu minta maaf, dek. Kamu ga salah." Ucap mas Jaki.

"Ayo lanjut makan, nggak usah di dengerin apa kata mama, oke?" Mas Jaki mengelus kepala Sean sambil tersenyum dengan tulus.

Sean mengangguk dan kembali menyuapkan nasi ke mulutnya.

.

Pulang sekolah, Sean pergi ke acara olimpiade. Aa Satria, dek Juan, dan dede Kiki juga ikut untuk menyemangati Sean. Sayangnya, mas Jaki sibuk di sekolah, dia itu anggota osis. Kalau kak Mahesa sibuk di kantor, mungkin dia bakalan lembur. Dan bang Jayden sibuk sama skripsinya.

"Semangat bang!" Ucap dek Juan sambil mengepalkan tangannya ke atas.

Sean tersenyum manis melihat dek Juan dari jauh. Mau dilihat dari manapun, dek Juan memang tetap gemas.

Olimpiade pun dimulai, Sean sedikit kesusahan dengan soalnya, ia mencoba untuk mengingat terus rumus-rumus yang ia pelajari di hari sebelumnya.

"Gimana bang soalnya?" Tanya Kiki setelah olimpiade selesai.

Sean mengerucutkan bibirnya, "Susah, rumus nya hilang semua dari otak." Ucapnya. Aa Satria mengelus kepala Sean dan berkata, "nggak papa, yang penting kamu udah berusaha, apapun hasilnya itu tetep bagus dimata abang-abang dan adik-adik kamu." Ucap aa Satria.

Sean menjadi lebih tenang mendengarnya. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu membuangnya dan mengangguk kepada aa Satria sambil tersenyum manis seperti biasa.

.

Jam 23.30, Satria melihat Sean yang sedang duduk di tangga rumah, tempat favoritnya Sean. Ia termenung disana dan tenggelam dalam pikirannya, entah apa yang ia pikirkan.

"Ehm." Satria berdehem dan duduk di samping Sean.

"Gak ngantuk?" Tanya Satria, ia hanya mendapat gelengan dari Sean.

"Kenapa lagi? Kamu mikirin apa?" Satria kembali bertanya. Dan lagi-lagi ia mendapat gelengan dari Sean.

"Bohong nih." Ucap Satria.

Sean hanya tersenyum.

"Sean cuma mikir, kalo Sean meninggal, mama sedih nggak ya?" Ucap Sean.

Satria menghela napas panjang, "Kamu mikir apa sih, dek. Ya sedih lah, kan anaknya sendiri." Ucap Satria.

"Aku bukan anak mama, a. Kata mama aku bukan anak mama. Anak mama tuh pinter, ganteng, banggain mama. Aku? Ga ada apa-apanya." Ucap Sean.

"Mulai lagi." Batin Satria.

"Dek, dengerin aa. Kamu nggak boleh mikirin itu terus, nanti kamu jadi stress. Setelah stres, nanti kamu sakit, nah kalo kamu sakit, nanti dek Juan sama dede Riki sedih, emang kamu mau mereka berdua sedih?"

Sean menggeleng. "Nah makanya nggak boleh gitu, oke?" Sean mengangguk.

"Kamu kenapa sih suka banget di tangga, sempit tau, dek." Ucap Satria.

"Tangga tuh adem, a. Angin dari manapun kena, mau angin dari bawah atau atas, kena semua. Terus, aku ngerasa tangga itu paling ngertiin aku walaupun dia nggak bisa ngomong dan nggak hidup sama sekali." Jelas Sean.

Satria hanya mengangguk.

"Kayak nya semua yang aku lakuin salah terus ya, a. Aku ditangga dimarahin mama karena ini tempat mama sama papa berantem sampe pisah. Padahal ini tempatnya adem banget." Sambung Sean.

"Mama cuma gak ngerti aja, udah trauma." Ucap Satria. Sean hanya mengangguk saja.

Teng! Teng! Teng!

Tepat jam 12 malam.

"Tidur yuk, anginnya udah mulai gak sehat, ini juga udah malam." Ucap Satria sambil bangkit dari duduknya.

"Iya a." Jawab Sean, ia ikut bangkit dari duduknya dan pergi ke kamar masing-masing.

Kata Mama | Kim SunooDonde viven las historias. Descúbrelo ahora