13

1.1K 102 2
                                    

Syutt

Pyarr

Sebuah anak panah melesat melewati jendela, hal ini membuat kaca jendela pecah sebagian. Dengan sigap Raya menangkapnya. Sekian centi lagu panah tersebut menancap sempurna di dahinya.

"Astaghfirullah, Ray, kamu ga papa?"

"Raya ga papa kak, kakak disini dulu. Kunci pintunya ya," ucap Raya setelah membaca pesan tersebut. Ia bergegas keluar kamar.

"Ray, RAYA..."

Raya menuju lantai atas. Ia mengambil sebuah kotak kayu berukuran sedang dibawah tempat tidur nya dan berlari keluar rumah. Disana sudah banyak yang tumbang dari Dymasius maupun pihak yang dipimpin Shandy. Termasuk Fenly, kini sebuah pistol tertuju padanya. Reno selalu saja dapat memanfaatkan keadaan.

"Berhenti serang Dymasius atau gua tembak nih anak,"

Semua orang yang terlibat langsung menghentikan aktivitas nya. Dymasius merapat ke arah Reno, salah satu dari mereka menarik paksa Fenly agar berdiri, senjata api masih setia mengarah ke Fenly.

"KELUAR RAYA! Atau gua habisin abang kesayangan lo ini!"

"Eh lo-"

"Diem atau gua habisin dia sekarang!"

Dari balik pagar muncul seorang gadis dengan kotak kayu ditangannya. Reno menyeringai ke arah Raya. Sudah ia duga, kalau Raya akan keluar dengan cara seperti ini.

"Runtuh juga pertahanan lo cuma karena cowo ini. Sepenting itukah abang lo ini?"

"Dia lebih penting dari pusaka bahkan nyawa gua sendiri. Lepasin dia dan gua serahin kotak ini," penawaran yang sempurna untuk Reno.

"Lo pikir gua bego? Buka kotak itu, ya gua mastiin aja kalau itu ga kosong," Raya membuka kotak tersebut. Dan benar saja ada pusaka yang Dymasius cari, Raya menutup kotak tersebut saat Reno ingin mengambil nya.

"Lepasin abang gua dulu, baru lo dapetin pusaka ini,"

"Raya! Maksud lo apa hah?! Padepokan akan hancur!" teriak Shandy.

"Padepokan punya banyak murid, mereka juga ga akan biarin padepokan hancur. Sedangkan gua cuma punya satu abang terbaik, yang bakal gua jaga sampai gua mati," ucap Raya dengan menekankan kata mati.

"Nih abang lo, sini kotaknya," dengan mudah nya Raya melepaskan kotak tersebut. Dymasius tertawa kemenangan dan pergi dari sana. Raya menangkup wajah Fenly. Banyak memar diwajah Fenly bahkan pelipis dan sudut bibirnya terdapat luka.

"Cuma wajah kan, bang? Bagian lain?" tanya Raya sambil memeriksa setiap bagian tubuh Fenly, tangan, kaki, bahkan kepala. Fenly menggeleng. Ia tak tau harus bersikap bagaimana.

"Maksud lo tadi apa hah?! Lo ngebahayain seluruh padepokan cuma karena Fenly! Lo ga mikir gimana dampaknya."

"Lo yang ga mikir gimana dampaknya kalau seandainya peluru itu tembus ketubuh Bang Fen. Lo ga mikir gimana Umi? Lo ga mikir gimana nantinya lo dihajar sama Abi lagi? Lo ga mikir gimana trauma nya gua sama semua itu hah?! Bayangin! bayangin, bang, anak delapan tahun harus liat itu semua. Liat abang pertamanya dihajar habis sama Abi nya, liat abang keduanya masuk ICU dan hampir tewas, liat sang Umi nangis terus-terusan dan berulang kali pingsan, liat kejadian penembakan itu didepan matanya. Otak lo kemana hah? Lo selalu mementingkan orang lain, tanpa mikir gimana gua kedepannya. Sebenci itu ya lo sama gua? Gua emang anak pembawa sial, bang, gua sadar itu, tapi apa gua juga ga butuh kasih sayang?" ucap Raya penuh dengan air mata. Ia mencoba melupakan kejadian tersebut, namun sangat sulit. Kejadian tersebut terus berputar dikepala nya.

Ricky terdiam mendengar ucapan adik bungsunya. Raya ada benarnya, dulu ia dihajar sang Abi karena penyerangan tersebut, sampai-sampai ia diusir dari rumah. Dan, kalimat terakhir Raya membuatnya semakin tak bisa berkata-kata.

"Tapi tindakan lo ngebahayain kita, lo ga tau gimana hebatnya kekuatan pusaka tersebut," ucap Shandy sebisa mungkin menggunakan nada yang lembut.

"Gua tau! Udah 10 tahun megang itu, bodoh kalau gua ga tau!"

"Siapin aja ramuan itu. Lanjutin rencana awal kita," ucap Aban tiba-tiba. Ia yang memberitahu abah kalau terjadi penyerangan dikediaman Raya. Ia juga tahu kalau Raya akan menyerahkan kotak tersebut.

"Maksud lo kita nyerang mereka dengan kemampuan kita yang minim? Gila!" cerca Fajri.

"Terserah kalian mau ngomong apa. Kalau kalian ga mau, biar gua sama Aban aja yang jalan," timpal Raya seraya melangkah ke dalam rumah untuk mengobati luka diwajah Fenly.

"Oh ya satu lagi. Gua mau pernikahan diadakan sebulan lagi," lanjutnya sebelum sepenuhnya masuk kedalam rumah. Fajri menghela panjang. Kenapa pernikahannya kena imbas juga?

Kini mata mereka kompak menatap Aban yang masih sibuk dengan iPad nya. Ntahlah datang dari mana itu iPad, padahal tadi ia ikut bertarung.

"Udah ikuti aja, percayakan semuanya sama Allah dan rencana Raya. Oke?"

Aban menaiki motor nya dan meninggalkan area rumah Raya. Kali ini hanya Hasyim, Aban, dan Raya yang tau sesuatu dibalik penyerahan pusaka tersebut. Bukannya tak mau memberi tau, hanya saja waktunya belum tepat. Apalagi, sempat terjadi cekcok antara kakak beradik.











Sebesar itukah cinta seorang adik kepada kakaknya?

Bagi Raya, Fenly kakak terbaiknya, begitupun sebaliknya.

Raya egois? Raya ga peduli, karena yang peduli sama Raya cuma Fenly jadi dia akan lebih memperhatikan Fenly.

Nb : Jangan jadi silent readers ya. Hargai penulis/author dengan memberi votmen dan jika tidak suka dengan alurnya bisa pergi, boleh memberi masukan asal tidak menghina, paham?

Badboy My Husband : End✅ Where stories live. Discover now