05 - Rahasia dan Kejutan

187 82 151
                                    

"Dari mana kamu?"

Suara dingin dan menusuk masuk ke pendengaran Jeongwoo, dia menunduk, tidak berani menatap wanita yang berperan sebagai ibunya tersebut.

"Dari mana kamu, Jeongwoo?" tanya Yuri sekali lagi karena tidak mendapat jawaban apapun dari anaknya.

Jeongwoo tetap bungkam, menunduk dalam. Sedikit melangkah mundur saat Yuri bergerak maju dan membentak, "Dari mana kamu?! Jawab!"

Tangannya sudah dia angkat, bersiap untuk memberi pukulan. Untung Jihoon datang tepat waktu dengan memanjat tembok pembatas—karena pagar rumah Jeongwoo sudah tertutup, lalu ia berlari dengan cepat. Kakinya menahan pintu sebelum itu tertutup sempurna. "Dari taman," katanya dengan santai. "Tadi aku ajak dia makan. Kasihan dia kelaparan, kayak anak yang nggak diurus."

Yuri menolehkan wajahnya. Jihoon menatap matanya yang kosong, tidak ada tanda kemerahan di matanya yang menunjukkan dia sedang mabuk seperti saat pertama kali bertemu. Yuri tidak mabuk, tapi akan. Dilihat dari isi dalam rumahnya yang berserakan botol soju baik yang masih terisi ataupun tidak dan bau alkohol yang sedikit tercium dari dirinya. "Kamu siapa?"

Ada satu botol yang pecah dan menaburkan pecahan kaca di dekat Jeongwoo, sangat dekat sehingga Jeongwoo tidak berani bergerak dari sana.

Jihoon menyungging senyum, mencoba mempertahankan sikap ramah. "Saya Park Jihoon dari blok E 20, rumah sebelah. Kita udah pernah ketemu, Tante lupa ya?"

"Bukan." Yuri menggeleng, menggeser Jeongwoo tanpa perduli jika kakinya akan terkena pecahan kaca. Yuri maju, mendekati Jihoon dengan alis yang bertautan. "Saya tahu, bukan itu yang saya tanya. Yang saya tanya, kamu siapa berani ikut campur urusan saya mendidik anak?"

Jihoon melirik Jeongwoo yang meringis dalam diam. Saat Yuri menggesernya, dia mengambil langkah besar untuk menghindari pecahan kaca, namun malah membuat kakinya sedikit keseleo. Tatapan Jihoon beralih kepada Yuri yang berada tepat di hadapannya dengan jarak yang cukup dekat. Jihoon menatap tepat di matanya yang terlihat kosong, cinta dan kasih sayang tidak terlihat sama sekali di sorot matanya, hanya ada kekosongan dan amarah. "Dengan melemparkan botol kaca? Itu yang kamu sebut mendidik anak? Kalau Jeongwoo luka, itu namanya kekerasan!"

"Sekarang kamu mau mengkritik cara saya mendidik anak, kamu udah punya anak?" Spontan Jihoon mundur saat Yuri semakin maju mendekatinya dan mendorong bahunya dengan jari telunjuknya. "Kalau gitu menurut kamu silahkan lapor polisi, jangan menggonggong di sini saja. Bila perlu urus sekalian Jeongwoo, dia merepotkan, ayahnya saja nggak mau ngurus dia."

Setelah itu Yuri menutup pintu dengan keras, tepat di hadapan wajah Jihoon tanpa perduli jika tangannya akan terjepit atau pintu akan menghantam wajahnya. Di dalam sana dapat Jihoon dengar dia membentak dan mengomel-ngomel. "Kenapa diam? Bersihin kacanya! Dikira jadi orang tua dan ngurusin anak itu gampang? Sialan."

Jeongwoo hanya menghilang tidak sampai satu jam, itupun dalam keadaan kelaparan dan beruntung Jihoon memberinya makanan. Kenapa tidak bertanya secara baik-baik? Kenapa harus menggunakan kekerasan? Ditambah Jihoon yang berniat ingin membantu Jeongwoo menjelaskan malah diusir secara kasar.

Sungguh, apa-apaan ini?!

Tangan Jihoon mengepal, meluapkan emosinya dengan memukul-mukul udara. Jihoon menyesal, kenapa dia harus menahan emosinya yang ingin meluap karena peraturan yang muda harus hormat kepada yang lebih tua.

Dengan perasaan dongkol Jihoon berbalik, pulang ke rumahnya sebelum ia kelepasan mendobrak pintu rumah Jeongwoo yang lebih cocok disebut sarang iblis. Moodnya untuk maraton drama jadi hilang, Jihoon memilih langsung tidur untuk melupakan emosinya.

Berharap esok ia akan sedikit tenang, mengingat besok adalah Minggu, hari terakhirnya liburan.

Keesokan hari, pukul 05.54, bel rumahnya berbunyi. Rasa kesal karena kejadian semalam belum hilang, bertambah akibat tamu yang tidak tahu waktu untuk berkunjung.

EQUANIMITY | TREASUREWhere stories live. Discover now