Bab 1 : Perpisahan dan Pertemuan

9.6K 762 7
                                    

Salsabila menangis dalam gendongan. Ummi berusaha menenangkan dengan mendendangkan selawat Nabi kesukaannya. Ia tahu putrinya sudah mengantuk dan seorang anak bisa merasakan kalau abi dan umminya akan pergi jauh.

"Salsa kan sudah besar, pintar lagi. Jangan menangis terus ya, Sayang!" hibur abi sambil mengelus rambutnya.

Mbak Rei, aku terimakasih banget nih sudah mau jagain Salsa. Maaf jadi merepotkan, Mbak sama Mas Adi terus," ujar Zahra, umminya Salsabila.

"Eh, kok kamu seperti sama orang lain aja. Mbak malah seneng dititipi Salsa. Mbak jadi ada mainan di rumah."

Zahra tersenyum, lalu berkata,"Jujur aku bingung sih, Mbak. Satu sisi anak masih kecil. Di sisi lain aku kok ya gak tega sama saudara-saudara kita di Palestina. Waktu awal nikah sudah komitmen untuk meneruskan jihad kami yang sudah dimulai sejak kuliah!"

"Iyalah, Mbak ngerti kok. Kalian juga bertemunya kan pas jadi relawan. Baca bismillah saja, kuatkan hati. Gak usah khawatir, Mbak pasti akan jaga Salsa seperti anak sendiri," kata Mbak Reina, kakak kandungnya.

Mereka berdua memang selalu kompak. Walaupun berbeda sifat. Reina, seorang wanita rumahan. Sedangkan Zahra, suka berorganisasi dan jiwa sosialnya sangat tinggi.

Sayangnya, justru Zahra duluan yang dikaruniai anak. Reina malah sudah lima tahun berusaha tapi belum juga diizinkan memiliki momongan.

Karena itu Reina senang kalau dititipi Salsabila, anak Zahra yang baru berusia tiga tahun. Zahra pun selalu merasa tenang meninggalkan anaknya dijaga oleh kakaknya sendiri.

Reina mengambil Salsabila yang mulai tertidur di bahu umminya.

"Selamat tinggal, Anakku. Baik-baik sama Bude dan Pakde ya!" ucap Zahra.

"Rencananya berapa hari kalian di sana?

"Sekitar tiga mingguan, Mbak. Nanti kalau ada anak Gaza yang bisa diadopsi, aku bawa pulang satu ya untuk Mbak!" kata Zahra sambil mengedipkan sebelah mata.

"Yang penting kalian berdua pulang dengan selamat, itu aja doa Mbak."

Zahra mengangguk sambil memeluk kakaknya. Lalu mereka berpamitan. Tak lupa ia dan suaminya mencium kepala Salsabila.

Sepeninggal adiknya, Reina membawa Salsabila ke kasur kecil yang memang sudah ia siapkan untuknya. Reina sangat mengharapkan bisa memiliki seorang anak seperti Salsabila.

Kalau boleh jujur ia sering cemburu pada Zahra. Dia sangat mudah mendapatkan apa yang diinginkannya. Sedangkan Reina butuh usaha ekstra untuk mendapatkannya.

Ia merasa beruntung karena adiknya akan pergi agak lama. Jadi kesempatan untuk bersama Salsabila menjadi lebih banyak.

Salsabila anak yang cerdas. Tak heran, abinya seorang dokter, umminya lulusan sarjana psikologi terbaik di universitasnya.

Dulu Reina mengalah hanya sampai tamatan D3, karena orangtua mereka tidak punya uang untuk membiayai kuliah Zahra.

Setelah Reina bekerja, Zahra berhasil masuk universitas negeri unggulan. Dia memang sangat cerdas, sehingga sering mendapat beasiswa. Hal itu membuat orangtua mereka sangat bangga pada Zahra.

Seperti biasa Reina seolah tak terlihat, pengorbanannya seolah hanya suatu kewajiban. Hal yang memang seharusnya dilakukan oleh seorang anak tertua.

Saat ini kebahagiaan Reina seolah lengkap, kehadiran Salsabila membuat naluri ibunya bisa terlampiaskan. Ia menjaganya dengan setulus hati. Kalau Zahra menghubungi, ia jadi agak sedih menyadari kesenangan ini hanya sementara. Tapi tetap merasa lega karena adiknya baik-baik saja.

dr. Salsabila Where stories live. Discover now