Bab 9 : Insiden Mie Ayam

3.8K 427 8
                                    

Enam bulan telah berlalu. Salsabila menghabiskan hari-harinya dengan bermacam terapi. Mulai dari terapi berjalan sampai terapi psikisnya.

Walaupun enam bulan itu terasa berat dan Salsabila sedang berada di titik terendahnya. Namun ia berusaha terus untuk bangkit karena tidak ingin mengecewakan ayah, ibu dan juga adiknya, Raka.

Salsabila tidak tega melihat mereka yang terus tersenyum di depannya, namun menangis ketika di belakangnya. Apalagi ibu, Salsabila sering memergokinya menangis ketika sedang di dapur. Karena itu ia berusaha untuk tidak merepotkan siapa pun lagi.

Hari ini ada jadwal terapi dengan dokter Aliyah. Salsabila melangkah pincang ke ruangan praktek beliau. Berkat fisioterapi beberapa bulan dan dengan bantuan obat-obatan, ia akhirnya bisa meninggalkan kursi roda.

Awalnya masih harus pakai tongkat walker. Setelah itu tongkat kaki tiga. Sekarang ia bisa lebih percaya diri berjalan tanpa semua alat bantu itu. Hanya saja kekuatan kakinya belum optimal.

Tok tok!

"Ya, masuk!" sahut dokter paruh baya itu. Dia melihat pintu dibuka dan Salsabila muncul sambil mengucapkan salam.

"Wa'alaikumsalam ... kau selalu tepat waktu, Salsa. Tak heran kau jadi lulusan terbaik waktu itu. Silahkan ... kita lanjutkan bincang-bincang kita yang kemarin!" jawab dokter Aliyah sambil tersenyum.

Salsabila masuk dan langsung duduk di sofa yang berhadapan dengan sofa yang biasa diduduki oleh dokter Aliyah. Dilihatnya seniornya itu mengambil buku status dan alat perekam. Dia meletakkan keduanya di meja dan memulai sesi terapi.

"Bagaimana dengan perkembangan pengobatan penyakitmu?" tanyanya.

"Alhamdulillah, obat sudah dikurangi. Hanya saja gejala masih hilang timbul. Saya tidak bisa terlalu capek dan terkadang masih timbul gejala brain fog (5). Tiba-tiba sulit berkonsentrasi dan fokus terhadap sesuatu hal ...."

Dokter Aliyah menganggukan kepalanya sambil berpikir. Terlihat ia masih prihatin dengan kondisi Salsabila.

"Kamu jangan berputus asa ya. Walaupun penyakit ini belum ada obatnya, tapi setidaknya bisa ditargetkan untuk remisi (6). Saat ini bagaimana perasaanmu?"

"Yah ..., saya sulit kalau mengatakan baik-baik saja. Rasanya hidup saya kedepannya akan suram. Saya tidak tahu bagaimana caranya agar tidak seperti itu. Tapi ... demi keluarga, saya coba terus menjalani apa yang disarankan. Seperti terapi dan minum obat." Salsabila mengatakan itu dengan mata berkaca-kaca.

Dokter Aliyah bisa menangkap gelagat Salsabila yang berusaha terlihat tegar di depan orang lain. Padahal di dalam dirinya, ia sangat rapuh.

"Mungkin Allah menginginkan Salsa saat ini belajar berbaik sangka pada-Nya. Terus ikhtyar namun selalu berserah diri sepenuhnya pada skenario Allah dan yakin segala sesuatunya akan berakhir yang terbaik. Allah Maha Tahu, kita yang pengetahuannya terbatas. Kalau selama ini Salsa selalu mengandalkan logika untuk mengendalikan hidupmu. Sekarang coba andalkan Allah ...," nasehat dokter Aliyah.

Salsabila menunduk, seperti menahan gejolak hatinya. Tiba-tiba ia berkata,"Kenapa Allah memberikan ujian seberat ini pada saya? Apa Allah benci sama saya?"

Dokter Aliyah tersenyum lembut, memahami apa yang dirasakan Salsabila saat ini.

"Kamu tahu kan, dulu Rasulullah sering dicaci maki orang, dilempar kotoran. Diejek dan dibenci oleh kaumnya. Pasti sangat berat kehidupnya. Nabi Ayyub juga menderita penyakit yang berat dan membuatnya tak berdaya, sampai ia kehilangan segalanya. Apa semua itu karena Allah benci pada mereka? Rasanya mustahil ya, mereka justru manusia yang dirahmati."

dr. Salsabila Where stories live. Discover now