8

67 18 77
                                    

Gerald mencekik Vivi yang berada di bawahnya, sedangkan Vivi menyeringai kecil. Tangan perempuan itu menyentuh bendanya di bawah sana. Cekikan Gerald semakin kuat seiring nafsunya yang memuncak meminta segera di salurkan.

Saat pesta kelulusan berakhir terakhir yang dia ingat adalah dia di antar Vivi pulang ke apartemennya dan lalu saat dia membuka matanya Vivi menyambutnya dengan tubuh telanjang Vivi di atasnya.

"Aku bisa menyebarkan video Viona, dia tidak akan mendapat beasiswa seumur hidupnya, di kucilkan, bahkan dia bisa saja bunuh diri", ancam Vivi sambil membelai wajah Gerald.

Mata Gerald di liputi nafsu untuk membunuh gadis ini membuat Vivi mendengus lelah karena ancamannya tidak berhasil, meski dia tahu Gerald takut dia menyebarkan video Viona.

"Aku memiliki rekam jejak kriminalmu.  Gedung tua di belakang sekolah lama, 3 orang pria dengan 20 tusukan. Aku hanya mengirimkannya pada Viona, bagaimana?", ancamnya sekali lagi yang berhasil membuat Gerald membeku. Kebejatannya adalah hal yang sangat tabu untuknya jika Viona mengetahuinya. Tapi, ini sudah...hei, bukankah jika ini berlanjut pun akan sama saja. Dia tidak akan bisa bersama Viona lagi, semuanya sudah hancur. Namun, hatinya menolak. Viona adalah dunianya, dia tidak bisa jika harus meninggalkan Viona. Tapi dia sudah sangat hina untuk Viona-nya.

Vivi memendam amarahnya ketika Gerald hanya menuruti ucapannya untuk mengatakan hal itu, namun pria itu tidak menyatukan tubuh keduanya. Kalau seperti itu, sama saja dia sia-sia menyuruh Viona datang ke apartemen Gerald menggunakan nomor pria itu. Namun, bukankah ini cukup memuaskan. Lewat sudut matanya, dia melihat Viona yang mematung di pintu sebelum akhirnya gadis itu menutup pintu dengan pelan lalu menghilang. Dia terperanjat ketika Gerald kembali mencekiknya, kali ini Gerald lebih bersungguh-sungguh untuk membunuhnya, membuatnya ketakutan setengah mati.

"Jika aku mati pun, video itu sudah ku sebarkan. Jangan main-main denganku, jika kau berhenti sekarang video itu akan ku hapus", ucapnya dengan mata bergetar ketakutan.

Gerald melepaskan Vivi dan membentak gadis itu untuk pergi. Dia  menggila di apartemennya, mengorbankan barang-barang yang ada untuk melampiaskan rasa marahnya. Diacaknya rambutnya dengan frustasi, teriakan sarat frustasi dan sakit itu keluar dari mulutnya.

Gerald kecil tersungkur dengan darah yang mengucur dari kepala belakangnya, di depannya ayahnya melayangkan balok ke badannya. Seluruh badannya lemas dan sakit. Dia meringis ketika ayahnya mencekik lehernya sambil tertawa senang.

Ibunya menamparnya. Tatapan penuh benci sang ibu membuat hatinya tercubit, air mata menggenak di pelupuk matanya semakin membuat sang ibu muak hingga sekali lagi menampar Gerald.

" Kau bertanya apa aku menyayangimu?! Jangan meminta hal menjijikan seperti itu. Kau bukan apa-apa jika bukan anakkku!", ucap ibunya sambil mendorongnya dengan kasar.

"Yah, ayah dan ibumu memang produk gagal. Pantas saja kau sama gagalnya seperti mereka", ucap salah satu pamannya ketika mengetahui soal nilai akademiknya yang semuanya berwarna merah.

"Baguslah kau sadar diri. Jadi aku sedikit menyayangimu. Tekuni minat dan apa yang bisa kau kuasai. Mulai sekarang mereka tidak lagi bisa mengganggumu. Jadilah lebih baik", ucap kakeknya.

"Kau kelihatan banyak masalah. Kau baik-baik saja?".

Ucapan itu, pertanyaan 'apa kau baik-baik saja?' terdengar sangat asing di telinganya. Namun secara bersamaan membuat hatinya menghangat. Terlebih bagaimana mata yang sangat disukainya itu menatapnya. Untuk pertama kalinya, dia memantapkan dirinya bahwa gadis ini adalah pusat dunianya.

"Ku pikir kau sudah tidak tertarik dengan darah sejak berhasil memiliki gadis itu".

Telinganya terasa panas mendengar ucapan itu. Tangannya dengan lihai memberi lubang pada tubuh yang tergelatak tak bernyawa di lantai. Keinginan membunuhnya tidak pernah hilang. Dia masih merasa senang dan tenang jika tangannya sudah menyiksa orang sampai mati.

"Mungkin kau hanya bermain-main dengannya".

Dia membogem Kevin yang mengatakan hal itu. Dia mencintai Viona lebih dari apapun, meski dia selalu menyakiti gadis itu. Meski mereka mengklaim bahwa dia tidak mencintai gadis itu, hatinya tidak akan mengiyakannya. Karena dia mencintai Viona dengan cara yang menyakitkan. Hingga rasanya dia ingin mati saja jika Viona tidak memintanya.

"Jangan pergi".

Kalimat yang keluar dari satu-satunya yang di cintai membuatnya bertahan. Meski seburuk apa kisah mereka, itu tidak mempengaruhi fakta bahwa nyatanya mereka saling mencintai. Meski cinta mereka itu menyakitkan.

3 pria ini berakhir menggenaskan di tangannya. Alat kelamin mereka bercecer di sekeliling. Badan mereka penuh dengan tusukan pisau darinya. Matanya lalu berpindah pada Viona yang tergelatak menggenaskan yang tertutupi jaketnya.Dengan tangan bergetar dia mengelus wajah Viona.

Ayahnya tertawa senang ketika menusuknya dengan pisau beberapa kali. Ini masih bukan apa-apa, penyiksaan yang setiap hari dia dapatkan membuatnya kebal. 10 kali cambukan dari rantai besi menutup sesi penyiksaan dari ayahnya.

Ayahnya melempar botol kecil yang langsung di tangkapnya. Rasa sakit itu berganti lega. Ini obat yang bisa membuat Viona kehilangan memori itu.

Dia tersenyum tipis melihat Viona yang baik-baik saja. Obat itu berhasil. Air matanya sedikit menggenang di pelupuk matanya.


'NOW'

"Jangan main-main denganku. Aku membiarkanmu berkeliaran di sekitarku bukan karena aku tertarik padamu. Kau hanyalah alat bagiku", ucapnya pada Vivi. Di tangannya terdapat file tentang kebejatannya selama ini.

Matanya menyorot datar file itu yang sudah dia hancurkan. Dia sudah membereskan tentang Vivi. Tidak ada lagi jejak perempuan ini di hidupnya.

Kakeknya untuk pertama kali menatapnya dengan bangga ketika dia berhasil menamatkan sekolahnya dalam waktu 2 tahun ini. Kakeknya menawarkannya untuk bekerja di perusahaan elektronik miliknya namun, ada hal yang harus dia lakukan.

"Iblis!"

"Biadab!"

"Mati saja kau!"

"Dengan ini, pengadilan menjatuhkan hukuman mati pada saudara Gerald Dexter! TUK,TUK, TUK.

Ketiga sahabatnya menatapnya dengan sedih, kakeknya menatapnya dengan tatapan sedih untuk pertama kalinya. Makian dan sumpah serapah dari para keluarga korbannya membuat hatinya sedikit lega. Ini lebih baik dari pada dia terus dihantui rasa bersalah karena sudah melakukan hal kejam dulu. Di samping Kevin, Tasya juga menatapnya dengan tatapan yang sama. Lalu di sampingnya, Viona....

Gadis itu menunduk, membuatnya cemburu berat karena lantai yang gadis itu tatap, bukan dirinya. Gadis itu keluar lebih dulu, sedangkan dirinya baru saja memberanikan diri menyapanya. Mengucap terimakasih pada petugas yang mengijinkannya, dia menuju tempat tadi Viona berdiri. Bahkan wangi gadis itu masih samar tercium oleh hidungnya, sedikit sepoian angin yang berada di sekeliling Viona membuat rasa sesak yang sejak tadi mencekiknya sirna. Bahkan, angin yang memiliki jejak kehadiran Viona-nya lebih dia cintai dari apapun.

Viona tidak tahu, Gerald sangat cemburu dengan berbagai hal. Rintik hujan yang mengenai kulit Viona membuatnya cemburu, angin yang memeluk gadis itu membuatnya cemburu. Karena dia tidak lebih dekat dari dua hal kecil itu.

"Aku ingin yang terbaik untuknya. Aku tidak lagi mengharap maafnya karena aku tahu itu sangatlah sulit. Tapi aku selalu berpikir dia akan kembali dan menceritakan banyak hal. Bahkan meski aku selalu merasa tidak pantas, rasa ini tidak pernah hilang. Bahwa aku mencintainya, lebih dari apapun".

VIONA [END]✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang