Bab. 3 Bagas si raja buaya

147 61 51
                                    

Cowok. Punya wajah ganteng dikit, langsung jadi buaya. Nempel sana, nempel sini, bikin anak orang baper.

Jika aku pernah bilang kalau Kelvin adalah buaya, maka ada satu orang lagi buaya di kelasku.

Namanya Bagas Aldianto, orangnya ganteng? Sudah pasti, makanya dia jadi playboy cap gayung. Tubuhnya atletis, rahangnya tegas, kulitnya sawo matang. Intinya ni cowok punya wajah berkarisma, dan juga dia anak basket, makanya banyak yang suka. Meskipun kelakuannya bikin geleng-geleng kepala.

Bagas ini lebih buaya dari Kelvin. Jika Kelvin, dia hobinya cuma tebar pesona ke sana ke mari, gombalin semua perempuan, tapi nyatanya semua anak di kelasku tahu, kalau dia tidak pernah punya pacar.

Beda dengan Bagas. Ni cowok playboy-nya tingkat dewa. So kecakepan banget, mentang-mentang punya wajah bagus, bisa seenaknya ngebaperin hati orang, lalu ditinggal pas lagi sayang-sayangnya, kan KAMPRET.

Setiap hari dia selalu curhat atau menanyakan pendapat tentang cewek.

"Tik, tadi gue ketemu sama cewek cantik banget."

"Tik, cewek yang di depan gerbang tadi cantik, ya?"

"Tik, ada cewek kelas sebelas nembak gue, menurut lo terima nggak?"

"Tik, cewek yang kemarin sama lo boddy nya boleh juga."

"Tika menurut lo gue harus terima yang mana?"

Setiap kali ada cewek baru, selalu nanya pendapat kepadaku.

Sampai aku merasa bosan karena selalu mendapat curhatan yang sama setiap harinya.

Tapi untung, aku orangnya baik hati dan tidak sombong, jadi aku selalu jawab. "Cantikan juga emak gue."

Lalu, dia nyeletuk, "Emangnya lo setuju kalau gue gantiin bokap lo?"

Sontak aku langsung melotot, terus nabok dia pake buku sampai pipinya berwarna merah.

Emang kurang ajar.

Iseng, aku pernah nanya sama dia, "Gas, lo setiap hari ganti cewek?"

Bagas ketawa, dan menjawab dengan bangganya, "Ialah, gue 'kan ganteng."

... Dan, aku hanya melongo.

Songong banget.

Ni cowok seganteng apa sih?

Manurios?

Atau ....

Justin bieber?

Terus aku tanya lagi. "Lo nggak takut ketahuan gitu, sama cewek-cewek lo, kalau lo punya cewek banyak."

"Nggak bakalanlah, gue 'kan udah profesional," jawabannya penuh percaya diri, buatku memasang wajah ingin muntah.

Jijik.

.... Dan, tahu apa yang terjadi setelah itu? Keesokan harinya setelah dia mengatakan hal itu.

"Cewek gue berantem," ucap Bagas tiba-tiba seraya duduk di sampingku.

Aku yang awalnya sedang membaca, menghentikan aktivitasku, dan mengerjap-ngerjapkan mata beberapa kali mencoba mencerna maksud dari ucapan Bagas barusan.

"Hah? Maksudnya?" tanyaku.

"Ah, lemot banget sih lo," ucapnya seraya mendorong bahuku menggunakan buku.

"Apaan sih, gue kan nggak ngerti, ngomong yang benar."

"Ke-tiga cewek gue, Rita, Eca dan Dewi kemarin berantem," katanya.

What?

Beneran?

Mendengar ucapan itu, mataku sukses melotot sempurna.

Pengen ketawa, tapi kasihan.

He he he ....

"Serius? Terus-terus gimana?" tanyaku penuh semangat.

"Apaan sih lo, ko kaya senang gitu."

"Hah? Ng-ngak, gue cuma mau tahu aja kenapa cewek-cewek lo bisa berantem, padahal 'kan baru kemarin lo bilang, kalau lo itu udah profesional," ucapku berusaha menahan tawa.

"Gue juga nggak tahu, kemarin gue jalan sama Eca, dan tiba-tiba aja si Rita sama si Dewi nongol di depan gue. Lalu ya gitu, mereka bertiga langsung saling serang, jambak-jambakan," katanya.

"Oh ya, saling jambak? Wah seru banget kayanya. Tapi sayang banget gue nggak lihat kejadiannya. Padahal gue punya impian pengen banget nonton pertandingan tinju secara langsung loh," ucapku dengan memasang wajah so penuh menyesal. "Terus gimana, siapa yang menang?" tanyaku.

"Mana gue tahu. Kemarin gue pergi duluan."

What?

Aku bengong.

Bagus ....

Kembangkan ....

"Sebenarnya kemarin gue sempat melerai mereka. Tapi malah gue kena cakar, jadi yaudah gue tinggalin aja mereka. Hehe," ucapnya santai.

Ku melihat ke arah wajahnya yang mulus, kini merah-merah habis dicabik-cabik sama pacar-pacarnya.

Rasain.

"Terus gimana hubungan lo sama mereka sekarang? Lo diputusin sama mereka secara berjamah, seperti di film-film?" tanyaku penasaran.

"Gue yang mutusin mereka. Buat apa gue mempertahankan cewek seperti mereka, lebih baik gue cari yang baru, yang lebih cantik dari mereka 'kan masih banyak antre pengen jadi pacar gue," katanya menyengir lebar.

Astagfirullah ....

Ni mahluk apaan sih?

Aku hanya bisa geleng-geleng kepala.

Bagas ... kapan tobatnya sih?

Sumpah ya ni cowok, belagu banget.

Pengen banget rasanya aku rebus ni cowok, lalu masukin ke campuran tepung, potongan kol dan wortel, lalu digoreng dadakan di jual lima ratusan, 'kan enak.

Tapi ....

Nggak deh bercanda.

He he.

Walau bagaimanapun juga dia adalah temanku.

Satu-satunya teman cowok yang paling dekat dengannku di kelas ini, yang selalu curhat tentang masalah percintaannya kepadaku, walaupun curhatannya tidak berfaedah sama sekali.

Ok. Ku akui, walaupun Bagas playboy, songong dan sering nyakitin banyak perempuan. Tapi dia tidak pernah bersikap kurang ajar sama aku. Dia begitu menghargaiku sebagai seorang perempuan, tidak pernah berani memegang atau menyentuh tanganku, dan memaklumi sikapku yang tidak mau bersentuhan dengan laki-laki yang bukan mahramku.

Bagas begitu melindungiku, bahkan saat Kelvin menggangguku, dia akan maju nabok Kelvin dan menyuruhnya diam, atau dia akan bilang, "Yaelah Vin, kurang kerjaan banget gangguin si Atika mulu, cari yang lain aja! Si Atika kan rata," katanya.

Kurang ajar sih.

Tapi, no problem.

Intinya, bisa dibilang Bagas ini pahlawan aku, dan juga sudah seperti abang aku di kelas.



~Bersambung.

Atika Story's (Selesai) Where stories live. Discover now