Bab. 35 Peristiwa yang tak seharusnya terjadi

37 14 0
                                    

Jam sudah menunjukkan pukul 23.30, dan aku masih saja terjaga, menatap langit-langit kamar dengan pikiran terus berputar di kejadian yang sama-kejadian tadi sore.

Tangan kananku bergerak menyentuh pelipis, dan kurasakan terdapat plester tertempel di sana. Kelvin yang memasangkannya.

Mengingat hal itu, refleks ku terbangun dengan cepat, menuju meja rias yang ada di sebelah kiri tempat tidurku, lalu duduk di sana untuk melihat plester tersebut lewat pantulan cermin, cukup lama ku memandanginya, sebelum tatapanku beralih ke luka lebam di ujung bibir yang saat aku sentuh terasa begitu perih, lalu selanjutnya pandanganku jatuh ke memar-memar yang ada di tangan kananku.

Dan sungguh, selama tujuh belas tahun aku hidup tidak pernah terbayangkan akan mengalami hal semacam ini.

Bullying.

Mungkin itu adalah kata yang tepat untuk menggambarkan apa yang terjadi kepadaku tadi sore. Di toilet sekolah.

Hari ini, setelah bel pulang berbunyi, aku memang tidak langsung pulang dikarenakan ada jadwal piket, dan baru selesai sekitar pukul 16.45.  

Waktu itu suasana sekolah sudah begitu sepi, mungkin hanya ada segelintir orang yang masih punya urusan tengah berlalu lalang di koridor, dan sebelum aku melangkah ke parkiran, ku memutuskan untuk ke toilet sebentar sekedar cuci muka untuk menghilangkan rasa lelah.

Dan, kalau saja aku tahu apa yang akan terjadi kepadaku setelahnya, mungkin aku tidak akan pernah mau mampir dulu ke toilet, pasti akan memilih untuk langsung pulang.

Tapi, ya namanya juga manusia. Aku mana bisa memprediksi apa yang akan terjadi kepadaku setiap detiknya.

Jadi alhasil, aku mendapatkan perlakuan yang begitu buruk dari orang yang tidak aku kenal begitu selesai cuci muka.  

Saat hendak melangkah ke luar toilet, tiba-tiba saja ada  segerombolan perempuan, yang jumlahnya mungkin sekitar enam orang menghalangi jalanku. Aku tidak tahu siapa mereka, juga dari kelas mana. Hanya satu hal yang aku tahu mereka semua membenciku karena alasan yang sama sekali tidak aku mengerti, aku kecentilan sama Kelvin dan Bagas, katanya, dan sepertinya salah-satu di antara mereka adalah mantan Bagas. Diketahui dari ucapan perempuan itu yang menyalahkanku penyebab dari putusnya hubungan dia dengan Bagas.

Yang selanjutnya, sebuah perlakuan yang benar-benar sulit aku lupakan sampai sekarang datang menyambutku.

Sebuah dorongan yang begitu kuat hingga menyebabkan punggungku terbentur begitu hebat.

Sebuah jambakan tanpa ampun, dengan tanganku yang ditahan ke belakang.

Sebuah caci dan makian dari berbagai suara, juga tamparan yang begitu perih.

Dan, saat aku berusaha melawan. Hal yang lebih buruk lainnya langsung datang.

Tubuhku terhempas dengan mudahnya, menyebabkan keningku terbentur ke dinding toilet.

Jangan ditanya, bagaimana kacaunya penampilanku saat itu, apalagi saat salah-satu diantara mereka menarik paksa kerudung yang melekat di kepalaku-tidak peduli dengan jeritan histeris yang aku keluarkan-mereka mengguntingnya tanpa ada rasa bersalah sedikit pun. Bagaimana gemetar dan ketakutannya aku saat itu. Aku, seorang diri dikeroyok oleh enam perempuan yang sepertinya tengah dirasuki setan.

Pasrah, mungkin hanya satu kata itu yang terlintas dalam otakku jika ada hal buruk lainnya sedang menanti, dan tidak ada satu orang pun yang mengetahui juga menemuiku di sini.

Tapi sepertinya, enam orang perempuan itu belum cukup berani atau masih terlalu waras untuk membunuh seseorang karena alasan sepele, jadi setelah keadaan kerudungku sobek tak terbentuk, mereka langsung pergi begitu saja meninggalkanku yang kesakitan.

Pintu toilet mereka kunci, sehingga toilet yang tidak ada jendelanya jadi begitu gelap, dan aku terduduk sendirian, menyembunyikan wajahku di antara dua lutut, dengan tangis yang mulai terisak.

Aku benar-benar tidak percaya sebuah perlakuan bullying yang biasa aku tonton di televisi, dan aku temukan di sebuah novel, bisa aku rasakan di kehidupan nyata, dan rasanya begitu mengerikan.

Hal itu membuatku kian bertanya-tannya. Mengapa? Mengapa ada orang-orang seperti mereka di dunia ini?

Dan, hal lain yang membuatku kepikiran hingga terus terjaga sampai sekarang adalah.

Kelvin.

Ntah apa yang terjadi, seperti peristiwa yang selalu terulang kembali, tiba-tiba Kelvin datang-persis seperti kejadian-kejadian lalu- kedatangannya seperti seorang pahlawan yang Tuhan takdirkan untuk menyelamatkan aku.

Mengingat sekolah yang sudah begitu sepi, juga kondisiku yang benar-benar mengenaskan, membuatku berpikir aku akan terjebak di dalam kamar mandi semalaman, dan ditemukan esok hari dalam keadaan tak sadarkan diri.

Tapi, begitu mendengar suara teriakan Kelvin dari luar, aku yang sudah berkunang-kunang hampir pingsan jadi tersentak, dan perlahan mendongak, memandangi pintu yang tengah berusaha didobrak dengan mata yang kembali berkaca-kaca.

"Tik, Tika. Lo ada di dalam?" Itu suara pertama Kelvin yang aku dengar sore tadi.

Dan saat itu aku benar-benar kehilangan kata-kata.

Kenapa tiba-tiba dia bisa ada di sini?

Padahal yang aku tahu, Kelvin sedang ada lomba badminton.

Tapi apapun itu alasannya, yang jelas kedatangannya benar-benar membuatku lega, juga bahagia.

Dengan suara gemetar, juga isakkan yang masih terdengar, ku  memanggil namanya, buat cowok itu kembali berteriak dengan nada yang terdengar panik.

“Tik, lo gapapa, kan? Tika?”

Lalu ketika pintu berhasil terbuka,  dan di saat Kelvin hendak melangkah ke dalam, ku kembali tertunduk diantara kedua lutut, seraya berteriak, “Jangan masuk, Vin.”

Kelvin langsung terdiam diantara celah pintu yang terbuka.

“Gu-gue gak pake kerudung,” suaraku gemetar, “Kerudung gue disobek.”

“Berengsek!” Kelvin mengumpat sebelum berbalik, lalu berlari menjauh ntah pergi kemana, dan disaat ia kembali, cowok itu mengulurkan sebuah taplak meja yang terbuat dari kain ntah dapat dari mana.

“Pake ini, Tik,” katanya, aku sempat terpaku sebelum akhirnya mengulurkan tangan untuk meraih kain itu.

Selesai menjadikan kain itu sebagai kerudungku, Kelvin melangkah masuk menghampiriku. Yang sialnya ntah kenapa wajah khawatir yang ia tunjukan begitu terekam jelas di ingatanku, sikap peduli dan perhatian yang ia berikan begitu mengganggu pikiranku sampai sekarang.

Bagaimana ia menyampirkan jaketnya di pundakku.

Bagaimana saat ia dengan sabarnya menungguku menangis sejadi-jadinya di dalam mobil, sampai berusaha menenangkanku.

Juga, bagaimana saat ia begitu cerewet kepada dokter yang mengobati lukaku agar hati-hati.

Semua itu bener-bener terekam jelas dalam ingatanku, yang seketika membuat pipiku terasa menghangat, dan jantungku berdetak begitu cepat. Ada semacam perasaan baru yang memenuhi dada. Terasa asing, namun mampu membuatku senang, sehingga tanpa sadar senyumku pun mengembang.

Astagfirullah.

Ada apa ini?

Ku segera menggeleng, berusaha mengenyahkan pikiran dan perasaan-perasaan aneh yang hinggap di dalam diriku.

Aku yakin itu semua adalah tindakan yang wajar seseorang saat melihat sahabatnya terluka, dan mungkin jika  sahabatnya yang lain mengalami hal sama sepertiku, ia juga akan melakukan tindakan yang sama.

Jadi pleasse Atika, jangan bersikap berlebihan seperti ini, dan tidurlah sekarang sudah malam.

Ku menghela napas panjang, dan kembali berbaring di atas kasurku seraya berdoa semoga semuanya baik-baik saja, dan segalanya berjalan normal sebagaimana semestinya.

~Bersambung.

Atika Story's (Selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang