Bab. 15 Pasien Panti Rehabilitas Kejiwaan

59 25 0
                                    

Kalian pernah ngalamin, suatu keadaan di mana kita merasakan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang lain? merasakan penderitaan orang lain, seolah-olah kita juga mengalami luka tersebut, dan membuat kita ingin bertindak untuk membantunya. Walaupun, kita sama sekali tidak mempunyai hubungan apapun dengan orang tersebut.

Ya, mungkin itulah yang sedang aku rasakan sekarang. Merasa empati terhadap perempuan paruh baya-dengan kisaran umur 45 tahun-yang menjadi salah satu pasien di rumah sakit KASIH HARAPAN-milik tanteku, atau orang biasa menyebutnya sebagai panti rehabilitasi kejiwaan.

Namanya, Sri Karina.

Setiap berkunjung ke rumah sakit ini, aku sering melihat tante Karin dalam keadaan yang tidak baik. Mengamuk, menangis histeris, dan bahkan aku pernah melihatnya hendak melakukan bunuh diri.

Seperti saat ini, di sebuah ambang pintu, aku tengah berdiri melihat tante Karin yang sedang berada di dalam ruangan minimalis yang didominasi dengan cat warna putih, tengah duduk di kursi roda, dengan kondisi yang begitu mengkhawatirkan.

Awalnya tante Karin hanya duduk, diam dengan kepala yang memiring, dan pandangan lurus ke depan. Namun tidak pokus, pikiran dan daya rangsang-nya ntah pergi ke mana, seolah jiwanya sudah direnggut dari sana, dan tangannya tengah menggendong sebuah boneka. Selanjutnya, tante Karin menyanyikan sebuah lagu nina bobo dengan tangan mengelus-ngelus boneka, dan tatapannya masih terlihat kosong. Yang kemudian, suara tawanya terdengar menemani ruangan sunyi. Namun, tiba-tiba....

Tante Karin melempar kasar boneka yang ada di tangannya itu, dan menjerit begitu histeris buatku tersentak kaget.

Astagfirullah.

Ku termundur ke belakang, monoleh kanan-kiri dan tidak menemukan satu orangpun suster di sekitar sini.

Apa yang harus aku lakukan?

Sekarang aku sendirian. Biasanya aku akan langsung memanggil tanteku, tapi tanteku sedang keluar, dan di mana para suster yang biasanya ditugaskan menjaga?

Sebenarnya, aku merasa takut melihat tante Karin yang menangis begitu histeris seperti itu. Namun di sisi lain, aku juga merasa kasihan melihatnya, aku takut tante Karin menyakiti dirinya seperti kejadian beberapa minggu lalu.

Aku ingin mendekat, dan menenangkannya. Tapi aku tidak tahu gimana cara menenangkannya, aku bukan seorang psikolog atau psikiater. Aku takut apa yang aku lakukan nanti malah membuat keadaan semakin memburuk.

"ANAKKU," teriak tante Karin lagi-lagi buatku tersentak kaget.

"DI MANA ANAKKU? DI MANA DIA?"

"Kenapa kalian semua jahat? Kenapa kalian membuang anakku?" tangis tante Karin terdengar begitu memilukan.

"Salah aku apa? KATAKAN! SALAH AKU APA PADA KALIAN?" teriaknya parau seraya menjambak-jambak rambutnya sendiri, buatku meneguk ludah kasar.

Astagfirullah....

Bagaimana ini?

Aku tidak bisa berdiam diri seperti ini.

Aku harus melakukan sesuatu.

Aku harus menghampiri tante Karin.

Aku harus menenangkannya.

Perlahan, ku mulai melangkahkan kakiku.

Namun....

"BA*GSAT," teriak tante Karin buatku refleks menghentikan langkahku.

"DASAR MANUSIA SAMPAH. KALIAN SEMUA JAHAT. AKU BENCI KALIAN SEMUA," tante Karin menjerit semakin histeris seraya memukul-mukul dirinya, yang kemudian membuatnya jatuh terduduk ke atas lantai, dan membuatku panik tanpa berpikir panjang langsung berlari kecil menghampiri tante Karin.

"Ta-tante, tante tenang ya," ucapku seraya mengelus lembut punggung tante Karin, mencoba untuk menenangkannya.

Tante Karin menangis pilu dalam pelukannku, mulutnya tidak berhenti terus saja berucap, "Anakku, kembalikan anakku."

Aku tertegun.

Sebenarnya apa yang telah terjadi kepada tante Karin?

Kenapa tiba-tiba aku ingin tahu siapa keluarga tante Karin?

Kenapa selama ini tante Karin selalu memanggil-manggil anaknya, dan kenapa aku tidak pernah melihat keluarganya berkunjung ke sini untuk menemui tante Karin di sini, dan beberapa pertanyaan lain pun bermunculan dalam diriku

Ya, memang selama ini hanya tante Karinlah satu-satunya pasien yang tidak pernah aku lihat anggota keluarganya datang dan menjenguk tante Karin di sini, seperti pasien yang lainnya, hanya untuk sekedar menanyakan kabar kesehatannya.

"Kamu?" Tante Karin mendongak, dan menatapku tajam, buatku meneguk ludah kasar, "Kamu yang mengambil anakku, kan? Iya, kan?" tanyanya seraya mencengkran kedua bahuku kasar, buatku gemeteran.

Haduh gimana ini?

"Bu-bukan, Tante," ku menggeleng cepat, "A-aku Atika, keponakannya dokter Risa."

"BOHONG!" bentak Tante Karin, buatku tersentak ke belakang. "Kamu pasti berbohong. Kamu pasti yang mengambil anakku, kan? lalu membunuhnya. Iya, kan?"

Lagi-lagi ku menggeleng cepat, dan semakin ketakutan saat melihat senyum miring tante Karin.

Apa yang harus aku lakukan? Berpikir Atika, cepat berpikir.

Tiba-tiba tante Karin tertawa begitu keras, buatku meneguk ludah kasar," Anakku ...." lirihnya, dan kembali ambruk dalam pelukanku.

"Mereka semua jahat. Anakku dibunuh. Mereka semua tidak punya hati, mereka membunuh anakku," ucapnya dengan tangisnya yang kembali pacah, buatku yang melihatnya terenyuh terdiam tidak tahu harus berbuat apa, yang selanjutnya kembali mengelus punggung tante Karin, menguatkannya, sebelum suara Tanteku terdengar dari arah belakang.

"Atika. Ya ampun, kamu gapapa?" Tante Risa terlihat khawatir seraya berlari kecil mendekat ke arahku.

~ Bersambung.

Atika Story's (Selesai) Where stories live. Discover now