RENJANA

49 8 0
                                    

Waktu Tuhan tidak ada yang tahu. Hal tersebut menjadi salah satu pegangan Aran dalam hidupnya. Tuhan memberikan kebahagiaan dan tentu kehidupan tidak terus menerus tentang itu, adakalanya kesedihan, pertemuan, atau bahkan perpisahan menyapa lembah kehidupan seseorang. Saat cakrawala menunjukkan warna jingga, disitu kehidupan baru menyapa. Udara malam merenggut hangatnya sang mentari. Sungguh itu bukanlah sebuah hal yang patut menjadi bahan mengeluh. Keindahan dunia akan terasa jika kita mampu merasakan dari berbagai sudut pandang.

Aran melihat sang bintang yang berkedip menyapanya. Mungkin bintang bukanlah penyinar di malam hari seperti bulan, tapi bintang memiliki makna jika bersatu dalam perpaduan yang indah. Sinarnya yang tidak terang mampu memberikan ketenangan untuk jiwa Aran yang begitu terluka. "Tuhan, bolehkan aku mengeluh kepada-Mu? Bolehkan aku menangis untuk malam ini saja? Aku akan melepasakan jika itu yang terbaik, tolong bantu aku Tuhan sehingga jalan yang aku pilih tidaklah salah." Aran memejamkan matanya, menyatukan kedua tangannya dan menikmati angin yang membelai mesra kulitnya.

Aran membuka telephonenya dan mencari kontak seseorang yang begitu berarti untuknya. Pesan singkat dia kirimkan, sekadar untuk mengingatkan agenda ibadah yang sudah dijanjikan sebelumnya. Aran kemudian meletakan telephonenya dan memandang langit dimana menjadi objek yang menarik untuk dirinya, "Tuhan, semoga keputusan ini yang terbaik. Kuatkanlah saya Tuhan, jadikanlah saya manusia yang tenang dalam menjalaninya nanti." Langkah kakinya berjalan meninggalkan kehidupan yang fana, memasuki lembah kasih yang penuh dengan berkat.

Saat kau mencoba memejamkan mata, kau telah berusaha menjadi manusia yang menerima keadaan. Padahal hati kamu begitu sakit dan butuh seseorang untuk memeluk jiwa yang rapuh. Sebuah harapan kemudian menjadi hal penting, dimana saat mentari pagi menyambut jiwa yang rapuh. Memeluk penuh hangat dan berharap harinya menghangat penuh dengan suka cita. Ya, Aran berharap demikian dalam doa paginya.

Langkah kaki yang cukup berat mengawali pagi hari ini. Padahal kehangatan di meja makan telah menunggunya, Aran menyesali keluhan yang baru saja dia alami. Tuhan telah memberikan pagi yang cerah dengan kehadiran Bunda dan Ayahnya. "Kamu mau ibadah bareng Ayah Bunda atau Fiony?" tanya Boby pada Aran yang baru duduk di sebelah Bundanya. Dia membutuhkan Shani untuk mengawali hari yang berat, kasih Bundanya begitu hebat dalam diri Aran. Tuhan sungguh baik telah menjadikannya sebagai anak dari Shani dan Boby.

"Sama Fiony, Yah. Mungkin setelah ini Aran akan lebih sering ibadah bareng sama Ayah, Bunda." jelas Aran yang membuat Boby sedikit mengerutkan keningnya setelah mendengarkan jawaban putranya. "Lah kenapa, padahal bareng sama Ayah, Bunda atau Fiony kan sama aja, gereja kita kan sama sayang," Aran menggelengkan kepalanya, "Iya, Bun tapi kita kan ga tahu rencana Tuhan, kan? Udah ah, ayo makan Aran lapar." Shani menggelengkan kepalanya melihat tingkah putra semata wayangnya.

Aran memimpin doa sebelum makan, dia tahu semua atas berkat Tuhan juga, "Dan berkati juga orang-orang yang bekerja sehingga makanan ini dapat kami nikmati, dalam nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus, Amin." Aran harus menyadari bahwa semua ini memang rencana Tuhan dalam kehidupannya dan dia tidak boleh menunjukkan muka sedihnya di depan makanan yang menjadi berkat ini.

Keluarga kecil ini menikmati berkat dengan nikmat, memang tidak ada sepatah katapun yang keluar namun hal tersebut tidak membuat suasana hangat menghilang. Boby selalu mengajarkan kepada Shani dan Aran ketika makan harus selalu bersyukur dengan melakukan refleksi diri atas apa yang Tuhan berikan. Mereka tidak lupa untuk melakukan donasi setiap bulannya kepada gereja atau panti asuhan. Itu adalah bentuk terima kasih kepada Tuhan yang telah memberkati kita, kata-kata Boby yang selalu Aran ingat.

"Sudah semua? Aran makanannya sudah habis? Jangan sampai kamu menyisakan makanan yang sudah kamu ambil ya." Satu lagi yang menjadi kebiasaan Boby, tidak boleh menyisakan makanan yang sudah diambil karena jika sisa berarti tidak menghargai makanan. Kita harus mengetahui kapasitas diri kita dalam makan. Aran dan Shani hanya menganggukan kepalanya. "Ayo kita siap-siap, aku yang akan bawa mobilnya jadi ga perlu sopir." Aran hanya menggelengkan kepalanya, dia tahu maksud dari ayahnya.

"Modus aja tuh, Bun." Iseng Aran kepada Boby.

"Sudah-sudah, ayo berangkat nanti telat lagi." Shani memang sosok ibu dan istri yang didambakan banyak orang.

"Bunda, boleh Aran minta peluk? Aran butuh kekuatan selain dari Tuhan, peluk Aran Bun," pinta Aran seperti anak kecil memang, tapi dia perlu kehangatan dari Bundanya untuk melewati hari ini yang mungkin berat untuk dirinya. Dia akan memutuskan sesuatu yang besar untuk hidupnya.

"Boleh dong sayang, sini." Aran memeluk Shani dengan erat, sangat erat. "Nanti cerita ya sama Bunda atau Ayah tentang hari ini, Tuhan memberkati kamu sayang." Aran menganggukan kepalanya sebagai jawaban. Boby seperti mengetahui putranya akan memutuskan sesuatu yang besar, dia hanya mengelus kepala anaknya tersebut dan berlalu keluar rumah.

"Terima kasih, Bun. Aran sayang Bunda, nanti Aran pasti cerita ke Bunda, Ayah juga." Aran mencium pipi Bundanya, "Aran jemput Fiony dulu ya, sampai ketemu di gereja, bye."

Langkah Aran sedikit lebih ringan untuk memulai hari ini setelah mendapatkan pelukan dari Bundanya. Sedikit berharap semua akan cepat pulih dan terbiasa dengan kehidupan barunya. Mobil Aran melaju dengan kecepatan yang sedang, dia menikmati setiap perjalanan menuju rumah kekasihnya. "Mungkin nanti aku bakalan kangen melintasi jalanan kompleks rumah kamu," monolog Aran dengan senyum sendunya.

NISKALAWhere stories live. Discover now