PS - 33

2.9K 117 2
                                    

Jangan Lupa Berjejak!

Hepi Ridingssss ....

****

Tepat jam lima, Sekala bangun dari tidurnya. Lengkap dengan badannya yang terasa remuk dan kaku. Mungkin karena posisi tidurnya yang dari semalam tidak berubah, atau karena kecapaian. Namun, bibirnya terangkat sedikit begitu melihat Justica yang masih terlelap di sampingnya. Brankar ini harusnya memang cukup untuk dua orang, tapi karena badan Sekala yang tinggi besar, jadinya seperti akan terjatuh apabila banyak gerak.

Satu hal yang sekala tahu setelah membiarkan Justica menangis semaunya semalam. Bahwa perempuan, mungkin memang tak semuanya, hanya butuh diberi waktu untuk mengeluarkan semua yang dirasakannya. Mereka akan terdiam dengan sendirinya apabila sudah kelelahan. Seperti Justica, meski Sekala sudah berusaha memberikannya pengertian, tapi tak dihiraukan. Akhirnya Sekala hanya diam sembari mengusap rambut Justica, dan anak itu langsung tertidur setelah puas menangis. Berbekal mata bengkak, yang bahkan melihat Sekala pun sudah kesusahan.

Yang membuat Sekala senang bangun pagi ini adalah tangan Justica yang sudah membelit sempurna pinggangnya, dengan wajahnya yang sudah berlindung di balik dada Sekala. Semalam, kan, ia dipunggungi. Malam pertama yang ajaib kalau dipikir-pikir.

Justica melenguh pelan. Perlahan mata itu terbuka. Pusing yang menderanya, membuatnya tak tahan untuk terus-terusan menutup mata. Cukup butuh waktu untuk menyadari posisinya sekarang. Sementara pikirannya sibuk membedakan bantal guling dan apa yang ditatap matanya sekarang. Sekala yang dari tadi melihatnya jadi ingin tertawa.

"Sudah bangun?"

Perlahan , kepala Justica mendongak dan memekik keras begitu menyadari kalau yang ia peluk bukanlah sebuah guling, tapi seorang manusia yang masih hidup. Dengan spontan, tangannya mendorong Sekala hingga Sekala terjungkang.

"Arghh!" Sekala meringis karena tepat punggungnya yang mendarat sempurna di lantai.

"Kenapa mesti didorong, sih? Semalam aja nggak protes," decak Sekala yang terlihat kesakitan.

"Salah sendiri. Ngapain tidur di samping saya. Kayak nggak ada tempat lain aja," kata Justica santai.

Tak lama pintu terbuka menampilkan seorang dokter, diikuti oleh seorang perawat.

"Pagi! Lho? Kok Bapaknya tidur di lantai? Kan, ada sofa, Pak. Nggak sakit badannya?" tanya dokter heran.

Justica menahan tawanya saat itu juga, sedangkan Sekala menahan malunya. Apalagi posisinya yang tidak mengenakkan sama sekali.

"Pagi, Dok. Oh, ini ... sofanya terlalu pendek. Kaki saya ... iya, kaki saya nggak cukup buat tidur di sana," elak Sekala membuat dokternya mengernyit. Padahal sofanya lebar. Masa nggak muat?

"Ohhh ... ada-ada aja. Saya periksa istrinya dulu, ya, Pak."

Giliran Justica yang membulatkan matanya? Istri? Hah? Sejak kapan dia jadi istri dosen menyebalkan itu?

"Saya bukan istrinya, Dok. Mana mau saya menikah sama dosen resek itu," ucap Justica.

Mendengar itu, dokter hanya terkekeh pelan. Benar-benar pasangan yang aneh.

"Saya harap, Justica tidak mengalami amnesia. Padahal baru kemarin saya mendapatkan laporan kalau kamu ini istri Pak Sekala lho. Atau jangan-jangan kalian bertengkar?"

Sekala kemudian menatap Justica tajam. 'Emang tuh! Sampai saya didorong,' batin Sekala ingin meneriaki Justica. Belum apa-apa, udah KDRT.

"Enggak, kok, Dok. Saya cuma bercanda, hehehe ...." sangkal Justica yang berusaha menutupi kebodohannya.

Pak Sekala AstraningratTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang