PS - 34

3K 139 3
                                    

Jangan Lupa Berjejak!

Hepi Ridingssss ....

****

Justica menatap bangunan rumah sakit yang berada di depannya. Akhirnya, ia bisa keluar juga dari tempat terkutuk itu. Salah satu tempat yang paling dibenci oleh Justica, selain daripada kantor polisi. Oh, jangan tanya lagi. Justica sering kali mendapatkan teror tilang online atau bahkan secara langsung di jalanan.

"Ayo!" ajak Sekala begitu berdiri di samping Justica. Ia baru saja menyelesaikan administrasi. Justica mengekor di belakang Sekala menuju mobil.

"Pasang seatbelt-nya, Justi," tegur Sekala saat melihat Justica sudah menyender dengan santai bahkan matanya sudah tertutup lagi.

Justica melirik Sekala malas. Baru saja duduk, sudah dibuat kesal. "Iya ... iya, cerewet."

Sekala tidak menggubris. Ia langsung mengemudikan mobilnya melintasi jalanan Jakarta yang tidak pernah tidur dari yang namanya kepadatan lalu lintas. Memang sedikit wajar, sih. Sudah mau jam empat sore, jam-jam para pekerja pulang ke rumahnya.

Setelah melewati lampu merah, Justica melirik Sekala heran. Harusnya lurus, kenapa jadi belok kanan kalau menuju rumahnya? Tapi, Justica pikir, Sekala melewati jalur lain.

"Lho? Kok? Ini, kan, makin jauh dari rumah saya. Bapak mau bawa saya ke mana lagi?" pekik Justica. Tapi Sekala hanya diam. Kesal, Justica menyikut Sekala.

"Kenapa , sih?" kesal Sekala.

"Masih bisa ngomong ternyata. Kirain udah bisu. Ditanya malah diam. Mending turunin saya di sini, kalau Bapak nggak mau antar saya pulang," ucap Justica bersedekap. Terpaksa Sekala menepikan mobilnya dan berhenti sejenak. Ia menatap Justica dalam.

"Sini, saya tanya. Memangnya kamu sudah siap bertemu sama ayah atau omamu?"

Justica bergeming, bahkan untuk membalas tatapan Sekala saja, ia tak berani. Ia melupakan satu hal itu. Ia memang belum siap untuk bertemu dengan ayahnya, apalagi omanya setelah mengetahui beberapa fakta menyakitkan tentang dirinya. Sekala yang memang pada dasarnya sudah mengerti, berinisiatif sendiri jadinya. Ia kemudian kembali melanjutkan perjalanan.

Sepanjang jalan itu pun, mereka hanya terdiam. Satu yang Justica tahu, perjalanan ini sudah cukup jauh. Mungkin sudah sekitar empat puluh lima menit. Pikirannya bergulir ke banyak hal. Termasuk kesiapannya dalam bertemu ayahnya. Entah berapa lama waktu yang ia butuhkan untuk itu.

"Mau mikir berapa lama lagi?" tanya Sekala menyentak Justica. Mereka sudah sampai. Justica melihat sekitar. Asing. Jelas, Justica baru kali ini ke tempat ini. Melihat Sekala yang sudah turun, Justica pun ikutan turun.

Di depannya, ada rumah yang emang tak sebesar rumahnya. Terlihat minimalis, tapi tetap memberikan kesan yang modern. Memang sama-sama memiliki halaman yang luas, tapi di rumah Jjustica hanya rumput hias. Itu saja. Sedangkan di depan rumah ini, ada banyak tanaman. Bunga, bahkan beberapa pohon yang lumayan besar menjadi penghias rumah ini. Jadi, kesannya lebih rindang ketimbang rumahnya sendiri.

"Ayo, masuk!" ajak Sekala.

"Ini rumah siapa, Pak?" tanya Justica penasaran.

"Rumah kita," jawab Sekala singkat, sebelum membuka pintu yang berwarna cokelat itu.

"Kita?"

"Kamu istri saya, ya, ini pun rumah kamu. Meski sebelumnya ini rumah saya," jawab Sekala lagi membuat Justica melongo.

Justica pun melangkah masuk. Wangi lavender seketika menyeruak. Ternyata bukan hanya di luar, tapi di dalam rumah juga terdapat beberapa bunga hias. Termasuk bunga lavender yang tertata rapi di ujung sofa, dekat TV. Justica jadi curiga.

Pak Sekala AstraningratWhere stories live. Discover now