Salju Yang Dingin

951 127 8
                                    

Darah,

   Adalah hal yang pertama kali tercium di udara. Perasaan cemas masuk dalam sela-sela hati pemuda itu. Kamado Tanjiro, mempercepat langkahnya agar segera sampai ke rumah. Barang kali bau darah ini hanya bau rusa yang terbunuh di tengah salju. Ueno-San yang sedari tadi memanggilnya tak Ia hiraukan.

   Napas pemuda itu tercekat. Merah, adalah warna pertama yang ia lihat. Air matanya jatuh tanpa izin, Ia berjalan—mendekati mayat yang berada di depan pintu. Itu Nezuko—anak perempuan pertama dari keluarga Kamado. Tanjiro kurun ke salju, meski pun begitu Ia ingin memastikan keadaan semua keluarganya.

   Jadi ia merangkak, gelap malam yang menutupi pengelihatan tak di hiraukan. Betapa kagetnya, Ia melihat Ibunya tengah terangkat—dicekik oleh seseorang yang membelakangi Tanjiro. Pemuda itu ingin menolong tapi getaran ketakutan merembes keluar, membuat tubuh pemuda itu mematung dengan keheningan.

“Ib... Ibu...” suaranya keluar dengan susah payah.

   Sosok yang membelakangi Tanjiro berbalik, menatap pemuda dengan kondisi kacau di hadapannya. Seringai terbentuk di wajah tampan itu. Dengan sekali hentakan, tubuh Ibu Tanjiro terhempas. Laki-laki itu menatap Tanjiro lamat. Sungguh cantik pemuda manis di depannya. Lantas, Laki-laki itu berjalan mendekat ke arah Tanjiro yang gemetaran. Ia menangkup pipi gembul itu dengan satu tangan.

“Ap—apa yang Kau lakukan pada keluargaku...” lirihan Tanjiro terdengar.

“Tidak ada, Aku hanya merasa bosan. Jadi aku membantu manusia seperti kalian untuk segera pergi dari dunia yang busuk ini.” Suara berat menyapu ruangan dingin itu.

“Tapi ini salah... Kenapa... Kenapa Kamu membunuh keluargaku...” Tanjiro kacau.

   Kekehan terdengar dari Laki-laki yang lebih tua. Padahal awalnya Ia ingin langsung membunuh pemuda itu, tapi setelah Dia pikir-pikir, Ia akan membiarkan pemuda itu hidup dalam waktu sepuluh menit kedepan. Pandangannya menyapu ruangan dengan warna merah dan jatuh pada seonggok mayat yang terbaring di depan pintu. Ah, wanita itu masih hidup.

“Hei, pemuda manis... Siapa namamu?” Pertanyaan terlontar. Namun tak sekalipun pemuda itu jawab.

“Jika kau memberitahu namamu, aku akan memberi tahu sesuatu.”

“Apa itu?” Tanjiro lebih penasaran dengan 'sesuatu' yang di tawarkan.

“Wanita itu, ia masih hidup.” Laki-laki itu menunjuk perempuan yang ada di depan pintu.

   Tanjiro melepaskan diri dari Laki-laki itu, ia segera memeluk tubuh Nezuko yang masih terasa hangat namun dingin. Ia memberikan tatapan tajam pada Laki-laki yang berdiri di depannya. Sedangkan Lelaki itu hanya memberikan senyuman remeh.

“Jangan mendekat! Pergi!” Teriak Tanjiro menggema.

“Bahkan jika Kau membawa Wanita itu pergi ke pemukiman warga, Ia tetap tidak akan selamat.” Kalimat itu terlontar.

“Diam!” Tanjiro mendekap Nezuko erat.

   Kekehan terdengar lagi. Pada awalnya itu adalah kekehan ringan, namun semakin lama membesar—menciptakan tawa yang menyeramkan. Dan sekali lagi, ketakutan merambat dalam diri Tanjiro.

“Kau... Lucu sekali. Hah! Asal Kau tahu, aku bisa saja langsung menyembuhkan adikmu, tapi...”

   Kalimat itu membuat Tanjiro berharap sehingga pelukan erat yang ia berikan kepada adiknya itu merenggang.

“Sungguh?” Pertanyaan konyol itu terlontar.

“Ya” jawaban tegas itu meyakinkan.

“Kalau begitu... Tolong sembuhkan adikku.”

EGO [DISCONTINUED] Where stories live. Discover now