Laba-laba dan Mimpi

474 82 5
                                    

“Ini benar akan baik saja?"

Sedikitnya, Rui jengah mendengar kalimat itu. Tanjiro melemparkan kalimat itu berkali-kali, seakan tak yakin dengan kemampuan Rui yang mumpuni. Karenanya Ia kesal.

“Cobalah untuk percaya, Kakak.”

Raut khawatir Tanjiro tampak makin menjadi. “Aku takut Kau terluka Rui.”

Rui mendekati Sang Kakak, “Jika sesuatu seperti ini dapat membuatku terluka, artinya Aku tidak pantas untuk berada di sampingmu.” Ia bersungut.

Tanjiro panik, Ia berdiri dan berjalan cepat, memposisikan diri di depan Rui. Ia cemas,

“Siapa yang bilang begitu? Rui, dengar. Aku tidak butuh pengakuan orang lain. Aku menaruhmu di sisiku karena Kau ku anggap sebagai adik.” Jelasnya.

Rui memalingkan wajahnya. Hati kecil itu berdesir, “Jika Kakak tidak memperbolehkan ku untuk ikut, Aku akan pergi.” Ucapnya final.
Rui meninggalkan Tanjiro sendiri, dan Tanjiro semakin panik ketika mendengar pernyataan dari sang adik.
...



“Begitulah, Nakime...” Ia menghela napas berat

“Ku pikir, itu adalah ide yang bagus.” Nakime menentang pemikiran Tanjiro.

“Huh?” Jelas Tanjiro bingung. Nakime tersenyum,

“Tanjiro-sama, ini adalah ajang yang tepat bagi Rui untuk mengukur sejauh mana kemampuannya.”

Tanjiro memasang raut nelangsa, “Tapi tetap saja Aku cemas, Nakime.”

“Apakah Tanjiro-sama menganggap Rui sebagai seorang adik?” Nakime bertanya, mengundang anggukan dari Pemuda yang jauh lebih muda.

“Ya, tentu saja! Rui itu adikku. Aku takut Ia kenapa-kenapa...”

   Nakime terkekeh, Ia memetik biwa, mendekatkan diri kepada Tanjiro. Selanjutnya, Ia mengelus rambut merah marun itu. Tangannya membawa Tanjiro untuk jatuh dalam dekapan Nakime. Tanjiro tidak menolak, Ia merasa... Nyaman.

“Tidak apa, Tanjiro-sama. Hal itu wajar. Sangat wajar jika Kita khawatir dengan orang yang Kita sayangi. Tapi, Kita tidak boleh membatasi ruang gerak mereka. Karena mereka ingin tumbuh dan akan. Dalam perjalanan itu, mungkin saja Rui akan bertemu dengan teman baru. Apakah Tanjiro-sama tidak ingin melihat senyum Rui?” Nakime menjelaskan itu dengan perlahan, buat Tanjiro jadi tercenung.

“Ya, Kurasa Kamu benar, Nakime.”
Tanjiro terlelap disana
...


“Semua sudah berkumpul, Muzan-sama.”

Suara Nakime yang menguar tanpa wujud itu menjadi momok mengerikan bagi para lower Moon. Mereka semua berdiri dengan gemetaran. Sementara Rui datang dari salah satu bilik yang ada.

“Lihat, bukankah itu si laba-laba?”

Semua yang ada disana melihat ke arah Rui, Mereka tersenyum remeh. “Bukankah seharusnya Dia sudah mati? Bagaimana bisa Ia masih hidup...”

“Dia mungkin mengorbankan keluarga bonekanya.” Salah satu dari Mereka menyulut api.

   Sungguh, Rui tidak peduli. Dia masuk, membaur di antara beberapa kerumunan itu. Yang di benaknya saat ini hanyalah Tanjiro seorang. Ya, hanya Tanjiro—

“Kau sudah dengar? Katanya  Kita memiliki iblis Upper Moon Zero!”

“Benarkah, apa Beliau hebat?”

Seseorang tertawa, “Tidak. Dia seperti itu karena Dia itu mainan para Upper Moon”

   Rui menebas kepalanya. Ia marah, sungguh marah. Bagaimana bisa iblis rendahan seperti itu berani merendahkan sosok Kakak yang amat sangat Ia sayangi.

“Ada lagi? Apa kalian semua mau dibunuh?”

Cekam, semua iblis bergetar ketakutan. Melihat hal itu Rui kembali berujar,

“Jangan pernah berbicara yang tidak-tidak tentang Beliau. Karena, siapa pun Kalian, akan ku penggal jika berbicara tentang Beliau.”
Yang ada disana serempak menunduk, bersimpuh diatas tatami yang entah kenapa terasa sangat dingin.

“Maafkan Saya, Rui. Sa—Saya tahu jika Kami semua bersalah...” Ia gagap.
Rui baru akan menjawab, sebelum pintu itu bergeser. Menampakkan pemuda dengan paras manis. Pemuda itu tersenyum, Ia menggaruk kepalanya meski tak gatal.

“Wah... Kalian semua sudah berkumpul. Apakah Kalian menunggu lama?”

“Enmu...”

Yang dipanggil tersenyum lebar, “Lama tak jumpa, Rui.”


...


Muzan datang dalam diam. Rui dan Enmu adalah orang yang pertama kali menyadari hal tersebut. Mereka bersimpuh, lalu para iblis yang lain melakukan hal serupa. Muzan menatap Mereka satu persatu, Ia tersenyum sesaat–bengis.

“Apa kalian tahu, kenapa Aku mengumpulkan Kalian disini?”
Mereka diam.

“Ya, benar. Untuk membunuh para pilar.” Ia menjawab sendiri.

“Aku menugaskan Kalian untuk membunuh para pilar. Yang dapat membunuh satu, Akan mendapat hadiah.”

Sosok iblis yang tak Rui kenal mendongakkan kepala, “Apakah itu darah dari Muzan-sama?”

Muzan terkekeh, “Tidak.” Jawabnya.
Sang Iblis itu terlihat sedih,

“Tapi hadiah ini tak kalah bagus dengan seteguk darahku.”

“Apa itu, Muzan-sama...”

‘’Salah satu kursi baru untuk Upper Moon class.”

EGO [DISCONTINUED] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang